Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Sekolah Tidak Mampu Menumbuhkan Minat Baca Anak-Anak Kita ?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13326851771759953561

Setiap selesai mengoreksi hasil ujian anak-anak, saya selalu miris melihat kemampuan anak-anak dalam menulis jawaban uraian, sebagian besar mereka nilainya jatuh di soal yang membutuhkan kemampuan analisis dan kemampuan menulis ini. Mungkin karena mereka selalu dimanjakan dengan soal-soal pilihan ganda, sehingga kemampuan berpikir mereka sebatas memilih, dan menebak. Pantas saja jenis soal seperti pilihan ganda ini tidak lagi digunakan di negara-negara maju. Lantas mengapa pemerintah masih bertahan dengan jenis soal seperti ini dalam ujian nasional ? Tanya Kenapa ……?

Selain itu, faktor malas membaca juga menjadi penyebab dari sulitnya mereka menjawab soal bertipe uraian. Orang tua di rumah selalu mengeluhkan putra-putrinya malas sekali membaca, di tambah lagi orang tua yang tidak gemar membaca sudah barang tentu berimbas kepada anak-anak. Yang menjadi pertanyaan mengapa sekolah tidak mampu menumbuhkan minat baca mereka ? Bukankah kegiatan membaca sudah menjadi rutinitas anak-anak kita di sekolah ?

Ditulisan sebelumnya saya membahas tentang pentingnya mengajarkan keterampilan menulis sejak dini kepada anak-anak kita. Namun yang tidak kalah penting sebelum mengajarkan keterampilan menulis adalah keterampilan membaca. Tanpa membaca tidak mungkin seseorang akan memiliki keterampilan menulis, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Lahap membaca akan menyebabkan seseorang gemuk menulis, artinya tulisannya akan sangat berbobot dan berisi, karena banyak pengetahuan yang ia peroleh dari membaca. Salah satu faktor utama seseorang tidak mampu menulis disebabkan karena malas membaca. Padahal membaca adalah sebuah aktivitas pengembangan diri, dengan membaca apapun jenis bukunya minimal ada satu pelajaran, satu pengetahuan, dan satu solusi atau manfaat di dalamnya (Andrie Wongso). Parahnya lagi penyakit malas membaca ini tidak hanya terjadi pada anak-anak kita, tetapi juga para guru di sekolah. Tentunya dengan alasan tak punya waktu dan terjebak ke dalam rutinitas kerja. Sungguh ironis, kegiatan membaca yang seharusnya bagi seorang pelajar menjadi kegiatan yang sangat asyik dan menyenangkan, namun berubah menjadi hal yang menyakitkan, dihindari, tidak disuka, dan membosankan. Apalagi bagi seorang guru, membaca seharusnya menjadi makanan pokok, yang akan menambah wawasan, meningkatkan intelektualitasnya, dan mempertajam intuisi. Namun tidak sedikit guru yang malas membaca. Mungkin inilah yang menjadi faktor mengapa minat membaca masyarakat kita sangat kecil dan memprihatinkan. Terbukti dari hasil riset yang di keluarkan oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) Pada tahun 2006 yang mellibatkan siswa Sekolah Dasar, Dalam riset ini Indonesia berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian. Posisi kita hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan. Kemudian hasil survei Unesco menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia paling rendah di Asean. Banyak faktor yang menyebabakan budaya atau minat baca masyarakat Indonesia masih rendah, jika ditelusuri lebih lanjut kita akan menemukan banyak sekali penyebabnya. Diantaranya adalah sistem pembelajaran kita belum membuat pelajar harus membaca buku, mencari, dan menentukan informasi lebih dari sumber yang diajarkan di sekolah. Singkatnya, para guru di sekolah lebih menekankan siswa untuk menghapal saja kemudian ketika ujian diberikan soal pilihan ganda. Nah, ketemu deh benang merahnya, bagaimana bisa guru menyuruh siswanya mencari informasi dari sumber lain, lah wong gurunya saja tidak punya sumber lain selain buku pegangan yang sama dengan milik siswa, atau dengan kata lain gurunya saja malas mencari sumber lain, alias malas membaca. Ini fakta, dan terjadi di sekolah kita. Bukan hanya di sekolah, di rumah pun guru malas membaca. Apalagi zaman sekarang sudah ada internet, ada saja alasan seorang guru untuk tidak membeli dan membaca buku, kan tinggal tanya mbah google, buat apa beli buku ? timpalnya. Mereka tak terasa sudah terjebak pada rutinitas kerja, sehingga tidak punya waktu khusus untuk membaca, tidak ada anggaran sedikit pun dari penghasilannya untuk membeli sebuah buku atau setidaknya meminjam buku dari teman apalagi mengunjungi perpustakaan, Lantas, bagaimana sekolah dapat menularkan virus gemar membaca sementara virus malas membaca masih menghinggapi para guru-gurunya di sekolah ? Guru harus mampu melawan virus malas membaca ini. Ingatlah dengan membaca kita dapat membuka jendela dunia. Sebagai bahan pembanding, mari kita sejenak berkunjung ke Finlandia, sebuah negara dengan sistem pendidikan terbaik saat ini. Di negeri ini minat baca masyarakatnya sangat tinggi, Berikut adalalah budaya yang terjadi di sana menurut yang ditulis Gamerman (2008) :

  • Orang tua yang baru melahirkan bayi diberi paket pertumbuhan anak dari pemerintah, termasuk buku.
  • Terdapat perpustakaan di mal-mal. Terdapat buku keliling yang selalu membuat masyaraka bisa mengakses buku dengan mudah.
  • Sekolah dimulai pada usia tujuh tahun.
  • Siswa di FInlandia jarang sekali harus membuat PR lebih dari setengah jam setiap malam.
  • Tidak ada kelas untuk anak berbakat. Kelas khusus lebih difokuskan pada yang yang tertinggal dalam hal membaca.
  • Guru disana memiliki kebebasan dalam merancang pembelajaran menyesuaikan kebutuhan siswa. Di kita sekolah ibarat pabrik mobil. Di Finlandia, guru ibarat seorang pengusaha.
  • Membaca adalah hal yang ditemukan di setiap sudut kota. Bahkan di dalam bus atau angkot terdapat perpustakaan mini.

Woww, hebat bukan. Semoga saja pemerintah peka terhadap permasalahan ini, dan semoga tulisan ini menjadi suntikan semangat buat saya pribadi, rekan-rekan guru, dan para pengunjung blog saya untuk tetap memiliki semangat membaca, sehingga mampu menularkan kepada anak-anak kita. Karena jika bukan kita, siapa lagi ??? **Semoga Bermanfaat**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline