Khoiruk Wahid Azmi
Pasuruan, 05 Maret 2020
Sudah sering kita dengar tuntas tentang tuntutan keadilan di negara hukum ini, iya Indonesia negara yang disurat kabarkan menjadi negara berbadan hukum. Namanya juga badan tak selamanya akan sehat, terkadang badan juga bisa saja meriang ataupun komplikasi. Inilah tugas berat para pemantau sekumpulan pakar dokter pemimpin negara kita yang dimana ide-idenya akan membawa kepada terobosan positif atau malah sebaliknya negatif.
Sang Dalang sudah duduk didepan layar drama perwayangan negara dengan memakai blangkon "Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia" dan sudah siap untuk memulai pertunjukan permainan parlemen politik negara.
Di baris kanan ada wayang bermotif rakyat, buruh, dan para petani sedang nampak kusam termakan rayap janji palsu para legislator. Di barisan kiri layar perwayangan sepertinya itu wayang-wayang baru yang baru tadi pagi aku melihat motif wajahnya di lembaran kertas "PEMILU", wayang-wayang baru itu adalah delegasi dari setiap bendera partai sanggar politik, Sepertinya begitu karena aku sedikit kenal dengan ciri-ciri rambut KLEMISnya dan senyum manis yang membius setiap pendengaran para rakyat dengan beberapa janji-janji duniawinya.
Mata ku mulai memfokuskan pandangan dengan wayang besar yang berdiri kokoh di bari tengah seperti bapak presiden Jokowi dodo seorang presiden yang dipandang sebelah mata, dicintai dengan bertepuk sebelah tangan namun memiliki terobosan dan langkah jejak bagi bangsa Indonesia dengan torehan gemilang selama masa jabatannya.
Ohh itu gerbang wayang atau gerbang wayang nenek menyebutkannya. Cerita pewayangan telah dimulai dengan menaburkan bibit Corona dalam cerita awalnya, Oh... Arjuna tercekat nafasnya terserang wabah Covid-19 yang membuatnya miskin seketika karena penurunan jam kerja kerajaan dengan dalil ekonomi menurun karena banyak orang yang enggan keluar istana. Para permaisuri dan buruh istana mulai menggencarkan pamflet-pamflet di sekitar istana setelah putra raja mengeluarkan peraturan OMNIBUS LAW. Ini bukan buku INSEKLOPEDIA yang bisa dengan seenaknya di rangkum layaknya resume di jam perkuliahan, para duta kerjaan mengira kemerdekaan terjadi dengan abad yang bisa di rangkum ceritanya, Oh... Mana bisa seperti itu? Belanda sampai beranak pinak menjajah negara kita sampai detik proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 kita masih di tikam oleh negara jepang sampai detik 75 tahun merdekanya NKRI kita masih terjajah oleh para parlemik politik yang dengan seenaknya memperkaya diri diatas penderitaan para buruh dan petani. Dengan dalil mereka wayang terbesar dan toko penting bangsa bisa seenaknya mengubah dan memperalat hukum sebagai hak memperkaya diri mereka.
Kami buruh dan para petani masih jalan kaki untuk memperkaya keluarga kami, Bukan memperkaya karena masih susah bagi kami untuk hanya sekedar makan nasi diwaktu sarapan yang hanya bisa menahan perut kami dengan ikat pinggang sekencang-kencangnya diikat di lilitan perut dengan seksama melihat para penguasa kursi negara makan pizza ketika sarapan mereka. Ah namanya juga negara "merdeka tapi belum merdeka." Dimana rakyatnya masih miskin dan para pejabatnya sudah berhamburan subsidi untuk fakir miskin.
Salam literatur
Kawal bangsa dengan berkarya agar tidak diperalat pemimpin negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H