Lihat ke Halaman Asli

Aksi Tanda Tangan Dukung Pilkada Bersih

Diperbarui: 24 Agustus 2015   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Catatan kecil OPAK Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

KITA harus berada dalam kesepakatan bahwa pedidikan masih menjadi salah satu lembaga pencetak generasi bangsa. Meskipun tak sedikit pencoreng bangsa juga lahir dan besar dari dunia pendidikan. Setidaknya pendidikan tidak pernah sedikitpun punya cita-cita buruk untuk bangsa ini.

Kini, masa orientasi mahasiswa baru sudah dimulai dibeberapa kampus, baik negeri maupun swasta. Hal buruk yang mencoreng nama baik dunia pendidikan muncul bergiliran. Bahkan kekerasan pada peserta menjadi makanan sehari-hari dengan mudah kita konsumsi di media. Hingga ada yang sampai berbuntut pada pemberhentian secara paksa di tengah masa orientasi mahasiswa yang masih berlangsung.

Lantas jika kondisinya seperti ini, benarkah masa orientasi mahasiswa sudah tidak diperlukan lagi? Tentunya pertanyaan ini harus dijawab dengan akal sehat. Menjawab ini, tidak bisa dengan hanya mengacu pada kasus sepihak yang ada. Semuanya harus dibaca secara seksama. Tak elok jika mengeneralisir karena kejadian hanya dibeberapa kampus saja.

Pengenalan mahasiswa baru yang terdapat pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menarik kita jadikan contoh. Ya, di tengah maraknya kabar tentang OPAK yang buruk, Fakultas Syariah dan Hukum mampu memberikan hal positif kepada mahasiswa baru. Tentunya tidak keluar dari nilai-nilai akademik yang ada di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum sendiri.

Melalui gerakan 1000 tanda tangan yang dikemas dengan, "OPAK Fakultas Syariah dan Hukum Mendukung Pilkada Serentak 2015 Bersih Tanpa Money Politic." Gerakan ini merupakan respon atas even demokrasi yang merupakan agenda penting penyelenggaraan pemerintahan.

Perlu diakui, Pilkada serentak tahun 2015 yang diagendakan terlaksana pada akhir tahun ini masih menyisakan ragam polemik. Bertepatan dengan peringatan Kemerdekaan RI ke-70, masyarakat Indonesia disuguhi berita gonjang-ganjing penyelenggaraan pemilukada. Mulai dari masih adanya beberapa daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon, penerbitan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) sampai praktik money politic.

Hingga hari terakhir pendaftaran pasangan calon pilkada serentak 2015, terdapat tujuh daerah yang masih memiliki calon tunggal. Untuk itu, atas dasar rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian mengeluarkan surat edaran berisi perpanjangan masa pendaftaran bagi pasangan calon di tujuh daerah tersebut. Namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan.

Kondisi tersebut mengakibatkan ketegangan di kalangan politisi yang berimbas pada munculnya desakan kepada presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Akhirnya, Presiden memilih opsi perpanjangan masa pendaftaran tahap kedua. Rupanya, usaha ini belum memberikan dampak yang signifikan. Sebab, dari tujuh daerah yang ada sebelumnya, masih tersisa empat daerah yang masih memiliki calon tunggal.

Oleh karenya, muncul penafsiran ganda dari realita tersebut. Pertama, kuatnya legitimasi petahana karena dukungan moral dari masyarakat sehingga mengakibatkan ciutnya nyali pesaing. Kedua, kuatnya legitimasi karena kompromi politik hasil kartelisasi antara dagang partai politik dan pasangan calon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline