Lihat ke Halaman Asli

wahdatun najibah

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ekranisasi: Sang Penari (2011) Film yang Diangkat dari Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Diperbarui: 1 Juli 2023   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Film Sang Penari yang oleh sutradarai oleh Ifa Isfansyah rilis pada 10 November 2011 merupakan fillm yang diadaptasi dari novel Trilogi yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari. Peralihan jenis kesenian ke jenis kesenian lain disebut alih wahana, Misalnya alih wahana novel ke film,puisi menjadi lagu, kartun menjadi animasi, dan jenis kesenian lainnya.. 

Pengangkatan sebuah novel ke film disebut Ekranisasi. Ekranisasi biasanya terjadi disebabkan keterbatasan ide penuis scenario film dan akhirnya memilih untuk mengadaptasi novel sebagai landasan untuk membuat scenario. Proses ekranisasi dilakukan dengan cara merealisasikan adegan-adegan di novel menjadi adegan audio-visual.

Kisah ini menceritakan sebuah kisah cinta seorang penari ronggeng baru di desa Dukuh Paruk dengan seorang pemuda di desa itu yang berakhir tragis. Film ini berlatarkan Indonesia tahun 1960 yang penuh intrik politik. Masih mudanya umur Indoneia membuat perekonomian negara saat itu masih belum stabil, termasuk desa Dukuh Paruk yang dilanda kemiskinan dan kelaparan. 

Menurut kepercayaan warga setempat, kelaparan yang melanda desa Dukuh Paruk disebabkan oleh tidak adanya pengganti penari ronggeng sebelumnya yang meninggal karena keracunan Bongkrek massal di desa itu. Untunglah ada seorang gadis kecil yang bernama Srintil secara alamiah menunjukkan bakatnya sebagai calon penari ronggeng saat sedang bermain dengan teman-temannya. 

Berbekal harapan Sakarya (kakek Srintil) menyerahkannya kepada dukun ronggeng Kartareja. Setelahnya, hanya dalam waktu singkat Srintil membuktikan kepiawaiannya menari di depan warga Dukuh Paruk dan Ia pun diangkat menjadi gadis pilihan dan masyarakat.

Untuk menjadi penari ronggeng yang sah, Srintil harus mengikuti serangkaian upacara yang puncaknya adalah upacara Buka Klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa saja yang mampu memberikan imbalan paling besar. Rasus, kekasih srintil tak kuasa melihat srintil melakukan upacara Buka Klambu memilih meninggalkan Dukuh Paruk. Kepergian Rasus meninggalkan duka yang dalam bagi srintil. Kehidupannya sebagai ronggeng Ia jalani dengan murung, hingga pada akhir cerita Srintil menderita sakit jiwa karena hidupnya yang berat. Srintil yang gila kemudian dibawa oleh Rasus ke rumah sakit jiwa.

Antara film Sang Penari dan novel Ronggeng Dukuh Paruk, pasti didalamnya memiliki beberapa adegan yang berbeda karena keterbatasan penyajian audio-visual dari adegan-adegan yang ada di novel baik itu nantinya ada adegan yang dihilangkan atau hanya dirubah. Hal ini juga diakibatkan oleh terbatasnya durasi film yang umumnya hanya 2 jam, tentu akan sangat sulit merealisasikan adegan dalam novel yang mencapai ratusan halaman. Respon baik para penikmat Ekranisasi umumnya dilihat dari timgkat kemiripan film dengan karya aslinya. 

Begitu juga sebaliknya, apalagi sampai terjadi perubahan nilai moral yang terkandung dalam karya aslinya. Tidak sedikit para pembaca novel Ronggeng Dukuh paruk yang kecewa terhadap film sang penari. Kemudian dijellaskan oleh Ahmad Tohari dalam kuliah umum prodi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia universitas Ahmad Dahlan, jika dikalkulasikan, novel Ronggeng Dukuh Paruk direalisasikan secara utuh akan memakan waktu 18 jam. Ahmad Dahlan mengatakan yang terpenting adalah ruh dalam novel tersebut benar-benar dapat dirasakan para penonton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline