Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia terbangun. Sisa-sisa kejadian semalam membuat pening kepalanya. Dengan sedikit tenaga. ia coba menoleh lutut kaki kirinya. Perih, dan sesekali ia meringis pilu. Sekitarnya hanya ada dinding-dinding bata, mengitari dirinya yang hanya berbalut kain sarung dan kaos kumal putih bersemu merah tua bekas darah yang membeku.

Keadaan hening sementara, kedua matanya tampak sayu, tebalberwarna biru, seperti bekas pukulan benda tumpul. Suara burung berkicau di pucuk dahan pohon mangga masih belum mampu menegakkan tubuhnya.

Dahulu, pagi-pagi sekali ia bangun, mengambil air wudlu dan segera berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Subuh berjamaah. Bisa dihitung, bahkan sesekali hanya dirinya saja anak SD yang hampir tiap pagi datang pagi-pagi ke Masjid, sembari tergesa-gesa mengikuti langkah kaki ayah yang seorang imam sholat. Di depan halaman rumah berdiri kokoh sebatang pohon mangga. Di pucuk rantingnya seringkali ia dapati sepasang burung kutilang beserta anak-anak mereka sedang beraktivitas di atas sarang rumput sederhana.

Sungguh bahagia keluarga kecil itu; melewati hari-hari dengan penuh keceriaan sejati, berkicau merdu nyanyian alam pagi. Mungkin, menjelang tidur malam, sejenak mereka berkumpul saling menceritakan pengalaman yang didapatkan hari itu. Tentang orang tua yang mencari makanan untuk anak-anaknya, atau kisah seru tentang pengalaman pertama sang anak diajarkan cara bagaimana terbang.

Samar-samar teringat olehnya, setiap pagi ia dan ayah pergi ke surau untuk menunaikan Sholat Subuh berjamaah. Bercanda bersama teman-teman sejawat setelah mengikuti tahsin di Masjid, atau sesekali berkelahi karena masalah rebutan shaf sholat Isya’ terdepan. Walaupun akhirnya, tetap saja shaf itu milik orang-orang dewasa.

Ia mengaduh, menahan sejuta perih terkelindan menjadi satu, bercampur bersama hasrat untuk mengingat kejadian semalam. Dan ia pun kalah, tak kuasa melawan sakit yang sedari tadi menyerang. Setelah itu semuanya berubah menjadi putih... dan gelap...

Sekarang ia sendiri, terasing di antara gaduhnya geliat penghuni jagat meraih rizki dan anugerahNya. Semuanya terasa sunyi, meski ternyata seisi rumah telah mengelilingi. ”Ibu, Ayah, Mas Roni,” lirihnya.

”Sudah, istirahat saja Nak, tak usah kau berbicara dulu,” dengan meneteskan air mata Bu Mirnah menasihati.

Jarum jam menunjukkan angka 10, sementara matahari tak begitu terang bersinar, tertutup awan mendung. Hening menyapa suasana, serasa jam dinding tak begerak. Sudah lebih dari lima jam ia pingsan.

Beberapa waktu lamanya Irgi, namanya, hanya bisa menitikkan air mata ketika ibu dan ayahnya berkali-kali menasihati dan mendoakan untuk kesehatannya. Sejak peristiwa semalam, ia menyerah. Sedikit-sedikit ia ingat jalan ceritanya. Dan ia mulai merajut satu demi satu fragmennya.

Semalam, ia dan beberapa teman pergaulannya sedang mabuk, merayakan kemenangan atas balap liar malam sebelumnya. Beberapa botol minuman keras mereka tenggak, hingga membuat mereka berada di bawah kesadaran. Dengan mengendarai sepeda motor, mereka lempari rumah penduduk dengan batu dan beberapa benda keras lainnya. Sungguh, tingkah polah gerombolan pemuda tanggung itu telah meresahkan warga.

Tak rela rumahnya dirusak, warga pun menghentikan laju motor mereka, dan menghajar ramai-ramai. Seorang temannya meninggal saat dilarikan ke rumah sakit, sementara Irgi mengalami beberapa luka yang agak serius. Kalau bukan atas pertolongan Alloh melalui Mas Roni yang kebetulan sedang bersama para Jama’ah Masjid usai menghadiri sebuah pengajian dekat tempat kejadian perkara, mungkin akan lain cerita.

”Irgi,” kata Ibunya, lembut.

Irgi hanya mengerdipkan matanya yang sayu.

”Kau masih ingat kan, cerita indah ketika dirimu masih kecil,” suara Ibu parau, menggetarkan hati.

”Tentunya kau masih ingat, saat jemari mungilmu lincah menunjuk huruf-huruf Al Qur’an, nafasmu yang pendek namun penuh semangat melantunkan surat-surat yang kau sukai. Merdunya suaramu sungguh Ibu rindukan. Tak akan pernah Ibu lupakan, ketika sayup-sayup suaramu menghafal surat An Naba’ tengah malam membangunkan Ibu. Lalu dengan langkah yang Ibu atur sedemikian rupa supaya tak mengganggu konsentrasimu, kudengarkan suaramu dekat-dekat. Supaya Ibu dapat merasakan azzammu yang kuat untuk menghafal kalam Illahi,” Bu Mirnah tak kuasa melanjutkan kata-katanya.

Melelehlah butiran air mata penuh cinta dan kasih sayang orang tua itu.

Dan lagi-lagi, Irgi pun hanya dapat terpaku, diam tak tahu harus berkata apa. Matanya merah, kemudian basah...

Sejujurnya, ia ingin mengucapkan kata maaf kepada kedua orangtuanya. Memeluk kedua orang yang paling berjasa dalam hidup yang telah mengenalkannya kepada Tuhan sejak kecil. Ia baru menyadari, apa yang selama ini dikerjakannya adalah jauh dari ridlo Illahi. ”Alloh,” lirihnya. ”Jauh sudah kaki ini berbelok dari jalanMu”.

Lamat-lamat ia mulai muroja’ah surat-surat dalam Al Qur’an yang telah ia hafalkan. Al Fatihah, Ar Rahman, Al Jumu’ah, An Naba’, dan surat-surat pendek lainnya. Hatinya kelu bercampur rindu. Iya, dia rindu suasana kecilnya. Ia rindulantunan tilawah Syaikh As Sudais, seorang Qori’ sekaligus Imam Masjid di Makkah. Ia rindu Alloh.. Tak tahan ia membendung kerinduan yang semakin lama semakin menjadi, ia tumpahkan semuanya dalam alunan dzikir dan kalimat taubat. ”Astaghfirullohaladzim”.

Bepuluh-puluh, bahkan beratus-ratus kali ia ucapkan Istighfar, hingga tak lagi memperdulikan kondisi kesehatan yang semakin menurun. Sudah berkali-kali aliran air mata membasuh pipinya. Sungguh... kedamaian dan kesejukan serasa kembali hadir dalam jiwa. Kedamaian sejati, berasal dari Illahi!.

Jam dinding menunjukkan pukul 19.00. Adzan Isya’ baru saja berkumandang. Segalanya bermula dari isakan tangis kecil, yang kemudian meledak menjadi tangisan yang sungguh memilukan hati. Ibu, ayah, mas roni, dan semua yang hadir di samping Irgi seakan belum bisa menerima apa yang baru saja terjadi. ”Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”.. ucap semuanya.

Irgi telah menghembuskan nafas terakhir, teriring sebelumnya kalimat syahadat dan wajah tersenyum yang melegakan bagi siapa saja yang memandang.

”Semoga Alloh melapangkan jalanMu ke arah ridlo SurgaNya, menghapus semua dosamu dan mengakhirkanmu dalam keadaan khusnul khotimah,” Mas Roni berdo’a sembari diaminkan oleh semua yang hadir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline