Dalam mengkaji makna sebuah karya sastra, terdapat beberapa pendekatan yang ditawarkan. Pendekatan ini memudahkan pembaca untuk mengetahui bagaimana makna yang terkandung dalam karya sastra secara khusus dan spesifik. Salah satu pendekatan untuk mengkaji karya sastra adalah pendekatan mimetik. Kata mimetik sendiri diambil dari kata mimesis yang dalam bahasa Yunani memiliki arti "tiruan". Begitu pula pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mimetik berarti imitatif; yang jika ditelusuri artinya maka "bersifat tiruan". Pendekatan mimetik secara umum menurut Najid merupakan pendekatan yang memandang prosa fiksi sebagai hasil ciptaan manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dari semesta (pengalaman hidup penulis atau hasil penghayatan penulis terhadap kehidupan disekitarnya). Abrams mengatakan bahwa tiruan dalam pendekatan mimetik ini berkaitan dengan imitasi dan realitas. Imitasi dan realitas yang dimaksud ialah imitasi terhadap realitas yang muncul, dekat, dan terjadi di luar karya sastra.
Menurut Rahayu, mimetik adalah memandang karya karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam, pencerminan atau penggambaran dunia dan kehidupan. Dengan menggunakan pendekatan mimetik, maka penafsiran sebuah karya sastra akan dikaitkan pada kata-kata yang menyimbolkan tiruan atau imitasi aspek alam dan dunia kehidupan yang ada pada karya sastra dalam mencari makna yang
tersimpan dalam karya sastra tersebut. Pendekatan ini dapat menjadi pilihan untuk menelaah makna salah satu jenis karya sastra, yakni puisi. Secara etimologis, puisi berasal dari bahasa Yunani, poesis yang berarti "menciptakan". Kata poesis berkaitan dengan unsur kata -poet. Kata tersebut bermakna "orang yang menciptakan melalui imajinasinya. Shahnon Ahmad menyebutkan definisi puisi sebagai emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur. Menurut Samuel Taylor Coleridge puisi adalah kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat hubungannya, dan sebagainya. Berbeda dengan pendapat Wordsworth yang berpendapat bahwa puisi berupa
pernyataan perasaan imajinatif, yakni perasaan yang diangankan.
Untuk menggunakan pendekatan mimetik sebagai jalan mengkaji makna pada puisi, diperlukan kecermatan dalam memperhatikan kata-kata atau diksi yang ada pada puisi. Setelahnya, kata-kata tersebut dikaitkan dengan simbol imitasi terhadap alam dan kehidupan sebagaimana konsep pendekatan mimetik. Jika cermat dalam memperhatikan simbol imitasi terhadap alam dan kehidupan, maka akan dengan mudah didapat makna dari puisi berdasarkan pendekatan mimetik. Pada artikel ini, penulis akan menggunakan pendekatan mimetik untuk mengkaji puisi dari penyair angkatan '45, Rivai Apin. Ia adalah salah satu dari pelopor sastra angkatan '45 yang lahir di Padang Panjang pada 30 Agustus 1927. Puisi-puisi milik Rivai Apin didominasi oleh tema perjuangan dan kemerdekaan tanah air. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, Rivai Apin bergabung sebagai tiga serangkai penyair Indonesia. Mereka bersama menerbitkan kumpulan puisi berjudul "Tiga Menguak Takdir" pada tahun 1950 dan diterbitkan di Balai Pustaka, Jakarta. Puisi milik Rivai Apin yang berjudul "Elegi" dimuat dalam kumpulan puisi tersebut. Penulis memilih puisi "Elegi" dalam artikel ini untuk dikaji maknanya menggunakan pendekatan mimetik melalui kata-kata yang menyimbolkan imitasi alam dan kehidupan.
Di bawah ini adalah kutipan keseluruhan puisi "Elegi" oleh Rivai Apin.
Elegi
Oleh Rivai Apin
Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak usah kami ucapkan
Apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan
Janganlah kau bersedih - dan mari kami lanjutkan
Kami bawa ini kebenaran ke bintangnya dan ke buminya.
Kami pun tahu, karena ada satu kata dari kau yang kami simpan
Satu pandang dari tanah retak menggersang, lalu sedu menyesak dada,
Ah, kenangan padamu kan terus memburu,
-- menakutkan seperti bayang di pondok seloyongan bila,
bila pelita telah dipasang.
Tapi penuh kasih seperti Bapak yang mengulurkan tangan
Dan kau kembalii, seperti di hari-hari dulu
Ketika kau dan ini bumi mendegupkan hidup.
Kami tak kann lupakan kau, ketika memburu dan ketika lari
-- karena apa yang kami buru dan apa yang kami lari
untuk itu mau serahkan nyawamu
Pun tahu, seperti kau pun tahu, bahwa tak ada
Dewa atau Tuhan lain yang berharga untuk dihidupi selain itu
Berhembus pun topan di padang tandus ini
Tapi tapak kami yang tertanam di padang gersang,
Di mana kau dalam terkubur
Melanjutkan nyala, dan kami yang tegak berdiri di sini ialah api.
Kita tahankan hidup di ini malam, yang akan melahirkan siang.
Kita adalah anak-anak dari satu Bapak
Kita adalah anak-anak dari satu Ibu
Dan mati bagi kita hanyalah soal waktu
Tapi kita semua mempertahankan satu Tuhan.
Adik yang akan datang, Kakak yang telah pergi
Kita angkutlah ini tanah-tanah yang retak,
Ini tanah-tanah yang gersang.
Keberatan beban, kesakitan bahu memikul,
dan kepahitan hati akan kekalahan
Akan menyaratkan cinta pada kepercayaan
Yang kita peluk.
Puisi ini memiliki pengaruh dari perjuangan kemerdekaan, mengingat puisi yang baru diterbitkan pada tahun 50'. Rivai berbicara kepada para pejuang kemerdekaan yang telah gugur di medan perang maupun yang masih hidup dan masih memiliki semangat untuk berjuang. Pada bait pertama, lewat kalimat "Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak usah kami ucapkan" dan kalimat "Apa yang bisa
kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan", Rivai menyajikan pesannya kepada pembaca dan membawa suasana sedih, murung, dan duka yang mendalam sehingga tidak bisa mengutarakannya dalam kata-kata.
Kemudian di bait kedua terdapat kalimat "Satu pandang dari tanah retak menggersang, lalu sedu menyesak dada" pada baris kedua menggunakan padanan kata "tanah retak menggersang" untuk menggambarkan pengorbanan yang berdarah-darah dan "sedu menyesak dada" apabila diingat. Masih di bait yang sama, Rivai mencoba mengatakan bahwa ingatan akan pengorbanan yang berdarah-darah itu dikenang dengan "menakutkan seperti bayang di pondok seloyongan". "Pondok seloyongan" di sini menggunakan imitasi dari pondok; rumah; tempat berlindung yang seloyongan; seperti akan jatuh untuk menggambarkan suasana yang penuh takut akan jatuh lagi meski memiliki atau berupa tempat berlindung. Tempat berlindung itu dianggap tidak kuat dan sewaktu-waktu dapat juga berkhianat. Sementara itu, kalimat "bumi mendegupkan hidup" digunakan untuk mengimitasikan suasana hidup kembali seperti seharusnya.
Bait selanjutnya Rivai menyampaikan suasana untuk selalu mengingat pengorbanan dan perjuangan para pahlawan dalam "memburu" dan "lari" mengejar kemenangan. Kalimat "berhembus pun topan di padang tandus ini" dan "tapi tapak kami yang tertanam di padang gersang, di mana kau dalam terkubur" menggambarkan suasana yang tegar dan tidak menyerah dengan menggunakan "topan" sebagai imitasi dari serangan. Suasana perjuangan dengan penuh pertahanan yang tak goyah pun menggunakan imitasi "malam, yang akan melahirkan siang". Ungkapan tersebut juga memaknai perjuangan yang tidak akan berhenti walaupun waktu silih berganti sebelum bertemu kemenangan atau kemerdekaan yang sebenar-benarnya.
Bait keempat berisi pesan Rivai untuk meyakinkan para pejuang yang berasal dari satu nenek moyang melalui "satu Bapak" dan "satu Ibu". Penggunaan imitasi "tanah yang gersang" lagi "retak" kembali muncul pada bait kelima yang bertujuan untuk mengulangi dan mengingatkan kenangan akan pengorbanan dan jasa para pahlawan. Meskipun pulang dengan tangan kosong tetapi berdarah-darah sebab "kekalahan", sang penyair yakin bahwa apa pun yang terjadi ada hikmahnya, termasuk "menyaratkan cinta pada kepercayaan" atau berupa cinta dan kesetiaan terhadap mereka yang sama-sama berjuang di "padang gersang" sebagai imitasi dari medan peperangan.