Lihat ke Halaman Asli

Wadiyah Nur

Mahasiswi

Mengapa Pergi yang Menjadi Akhirnya?

Diperbarui: 24 Mei 2023   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kemarin, notifikasi darimu selalu menjadi hal yang kusukai. Lelucon aneh dan obrolan random itu mendadak menjadi favoritku saat ini. Tutur lembut suaramu kala panggilan telpon itu menggema di tengah malam tiba-tiba menjadi saat paling menggembirakan kini.

Ah, secepat itu waktu berputar dan sekilat itu rasamu pudar. Apakah ada yang salah dengan topik pembicaraan kita kala itu? Atau mungkin ada sosok lain yang berhasil mengusik damaimu. Jika iya, mengapa tak jujur?

Pergi tanpa alasan bukanlah keputusan yang bijak. Bukankah kau pernah berjanji untuk tidak akan berpaling meninggalkan? Atau mungkin perkataanmu ketika itu hanyalah bukti dari kegabutanmu ketika bersamaku?

Kau juga mengatakan tidak ada hati lain yang sedang kau jaga. Lantas, mengapa menjadi asing? Seolah tidak ada lagi celah untuk alur cerita kita. Apakah benar kisah ini akan berakhir semu seperti ini? Menjadi sebuah epilog tanpa prolog.

Jika kau tau bahwa akhirnya akan setidak jelas ini, mengapa kemarin kau sangat bersemangat menyampaikan banyak hal tentang dirimu? Tentang keluargamu dan tentang planmu ke depan? Apakah kau sedang mencoba menjadikanku sebagai tempat penampungan untuk cerita hidupmu tanpa ada niat untuk menjadikanku tujuan?

Sebenarnya, apa yang kau inginkan? Tidak cukupkah kata-kata penuh sarkas yang kuunggah di social media menjadi alasan tentang harapanku padamu? Atau kediamanku yang seolah memberi jarak aman tentang sibukmu?

Aku yang terlalu kekanakan atau kamu yang sudah menemukan jalan lain selain denganku?

Rasa kita yang sudah berbeda atau pikiranmu yang telah terbuka?  Ah, benar apa katamu. Wisuda adalah jalan awal menuju kehidupan sesungguhnya. Kesibukanmu sudah bukan sebatas ke kampus atau tentang organisasi lagi. Prioritasmu sudah lebih jauh sekarang.

Ya, aku bisa memahami itu. Namun mengapa kata selesai yang menjadi pilihanmu? Tidak bisakah kau biarkan saja hubungan ini berjalan sebagaimana biasa, tanpa ada niat untuk tamat?

Aku hargai kesibukanmu. Aku pahami kehidupanmu kini. Yang tidak bisa kupahami adalah keputusanmu untuk mengakhiri tanpa mengemukakan alasan yang pasti. Kenapa tidak sedari dulu? Sebelum kisah ini sampai di titik sekarang. Sebelum rasaku sedalam ini. Kau pikir perasaanku ini main-main?

Dan, lalu, mengapa pergi yang menjadi akhirnya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline