Lihat ke Halaman Asli

Nasib "Umar Bakri" di Masa Khalifah Umar

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

by  Wahyudi al Maroky

(Direktur Eksekutif Pamong Institute/WADIpress)

Nasib guru atau yang dikenal “Umar Bakri” di negeri ini sungguh menyedihkan. Tapi Bandingkan di masa Khalifah Umar yang membayar gaji guru sebesar 15 dinar atau setara 63,75 gram emas per bulan.

Di negeri kaya raya ini, nasib guru atau yang dikenal “Umar Bakri” sungguh menyedihkan. Gaji guru dan PNS lainnya tergolong sangat rendah. Untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup yang pokok saja pas-pasan, bahkan tak cukup alias kurang. Konon lagi mau menyekolahkan anaknya menjadi sarjana. Untuk sekedar mencukupi kebutuhannya, mereka rela menjalani profesi tambahan sebagai tukang ojek, tukang kebun, bahkan jadi pemulung.

Bandingkan di masa Khalifah Umar yang membayar gaji guru senilai 63,75 gram emas per bulan.Ada baiknya kita belajar dari Khalifah Umar bagaimana memperlakukan para guru (kaum Umar Bakri) dengan baik dan terhormat. Padahal kita tahu di masa pemerintahan Kahalifah Umar, Tambang Minyak belum di eksplorasi dan kekayaan alam lainnya pun belum di eksplorasi.Namun di masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khaththab bisa memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Jika kita asumsikan harga emas Rp. 500.000,- x 4,25 x 15 = Rp. 31.875.000,- ini hampir sama dengan gaji anggota DPR saat ini.

Sementara saat itu Khalifah Umar sendiri tidak menerima gaji. Benar-benar mengabdi untuk kepentingan rakyatnya. Boleh jadi ini merupakan kunci bagaimana kepala negara mengalokasikan anggaran negara untuk pendidikan, sementara kepala negara sendiri tidak perlu digaji karena sudah cukup dijamin makan, minum, kesehatan dll. Jadi kepala negara tidak perlu memikirkan uang untuk biaya politik, kampanye dll.

Adakah pejabat negara kita yang tulus mengabdi untuk rakyat sehingga pos gaji para pejabat bisa untuk kesejahteraan guru dan rakyat. Memang kita perlu belajar banyak dari para pemimpin besar masa lalu, para Khalifah/pemimpin yang sesungguhnya. Namun ini perlu pengorbann dan keihklasan.

Negara di masa Khalifah Umar saat itu memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para Khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha' yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).

Perhatian para Khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan dulu, tercatat banyak perpustakaan yang terkenal diantaranya Perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ilmuwan dari berbagai negara, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll.

Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ilmuwan Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun per orang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Adakah di era demokraasi saat ini para penulis dan ilmuwan yang dihargai hasil tulisannya dengan ditimbang dan setara dengan emas?

Pendidikan di Masa para Khalifah dilakukan secara sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter. Manusia berkarakter khas ini memiliki ciri, pertama, berkepribadian yang Kokoh. Pola pikir dan pola jiwa/sikap harus berpijak pada idiologi. Kedua, menguasai ilmu. Khalifah telah mewajibkan setiap rakyatnya untuk menuntut ilmu. Ilmu yang harus dikuasai seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.

Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai Khalifah di muka bumi dengan baik. Keempat, memiliki keterampilan. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan, yang harus dimiliki rakyat dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah.

Agar output pendidikan menghasilkan SDM sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Harus ada sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Jika di rumah fungsi edukasi berjalan, lalu di sekolah anak mendapat pendidikan dengan benar dan masyarakat pun situasinya kondusif bagi perkembangan anak didik, maka akan lahir SDM yang mumpuni.

Sebaliknya, jika pendidikan di rumah buruk, akan membebani sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat. Maraknya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dll adalah dampaknya. Apalagi jika pendidikan di sekolah juga kurang bagus, lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Kurikulum juga terstruktur dan terprogram, mulai TK hingga Perguruan Tinggi (PT). Kurikulum menjadi jaminan bagi kesinambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjang. Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian yang secara terus-menerus diberikan mulai dari TK hingga PT.

Pada tingkat TK dan SD, penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Di tingkat PT, kebudayaan dan ideologi asing dapat disampaikan secara utuh, misalnya komunisme atau kapitalisme-sekularisme. Namun bukan untuk diimplementasikan, tapi dijelaskan dan dipahami kerusakan dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.

Demikianlah selayaknya kita belajar pada para pemimpin/Khalifahterdahulu dalam mengelola negara dan mengurus pendidikan. Jika di masa para Khalifah dulu dimana kekayaan alam belum dieksplorasi namunbisa sangat memperhatikan masalah pendidikan, mengapa kini kita yang kaya raya Sumber Daya Alam ini tak bisa? Tentu ada yang salah. Kita perlu pemimpin yang benar-benar pemimpin seperti para Khalifah yang benar-benar mengabdi untuk urusan rakyatnya. Tanpa digaji namun serius mengurus rakyat. Bagaimana dengan para pemimpin kita saat ini yang lebih sering menuntut hak daripada menunaikan kewajibanya? Tentu kita merindukan Para Khalifah hadir kembali mengurus rakyat negeri ini. Jika belum ada Khalifah, setidaknya semangat para Khalifah hadir dalam pemimpin negeri ini. Semoga.

@wahyudialmaroky

Direktur Eksekutif Pamong Institute /Penerbit WADI press

Pernah sekolah di STPDN-04, IIP-29 dan MIP-08

ingin  mewujudkan Pemerintahan yg Baik (Good Governance).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline