Lihat ke Halaman Asli

Herd Mentality

Diperbarui: 10 Maret 2019   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Video ini kurang lebih menjelaskan bagaimana budaya, kebiasaan, adat-istiadat, berbagai social norm, juga agama, bekerja.


Kebanyakan dari kita tidak tahu kenapa kita melakukan suatu kebiasaan yang oleh masyarakat disebut "tradisi" atau "adat". Kita melakukannya bukan karena tahu apa yang kita perbuat, tapi karena "dorongan" agar diterima di kelompok (keluarga, lingkungan, dst)

Dan "rasa diterima kelompok" ini merupakan sesuatu yang secara primordial membuat nyaman. Ini alasan dasarnya. Nah, baru selebihnya kita mencari pembenaran filosofis atas hal-hal repetitif tersebut.

Sebagian besar dari kita, sejatinya, beragama karena keturunan. Kita tidak punya alasan jelas kenapa kita menganut agama yang sekarang kita anut. Misal kita lahir di keluarga yang secara kultural menyembah pohon, kita diperkenalkan dengan praktik-praktik dan sistem keyakinan semacam itu sejak kecil, maka kita pun otomatis menganutnya; meyakininya sebagaimana orang-orang di sekitar dan leluhur-leluhur kita meyakininya.

Dalam masyarakat semacam itu, menyembah objek selain pohon adalah sesuatu yang ofensif, dan membuat kita terkucil dari kelompok.

Tidak semua orang yang ikut berdemonstrasi paham betul apa yang dituntut dan apa tujuan demo tersebut. Banyak orang ikut serta karena faktor kesamaan identitas saja. Contohnya demonstrasi buruh.

 Tidak semua buruh memiliki urgensi yang sama mengenai apa yang dituntut dalam demonstrasi tersebut, misal demonstrasi menuntut kenaikan upah. Beberapa buruh mungkin nyaman saja dengan upah sekian, tetapi karena faktor herd mentality maka ia ikut berdemo demi "solidaritas". Dengan perhitungan, seandainya tuntutan tidak dikabulkan, ia toh tidak begitu kecewa. Tetapi jika dikabulkan, ia akan ikut diuntungkan dengan kenaikan upah.

Inilah, yang kurang lebih, disebut "herd mentality".

Pidato Prabowo yang bercanda mengejek orang Boyolali, Jokowi pakai baju ihrom terbalik, pidato Ahok di kepulauan seribu, dan lain sebagainya, sebenarnya relatif biasa saja. Tidak perlu didemo besar-besaran.

 Jika pun salah, teguran dan permintaan maaf pun selesai. Tapi jadi berasa seolah itu suatu kesalahan serius, ya karena diramaikan. Sekelompok orang koor berteriak, maka secara psikologis orang-orang dengan identitas primordial yang sama akan bereaksi dan berteriak ke "arah" yang sama. Nah, di sinilah psikologi "herd mentality" bekerja.

Itulah kenapa, bahwa "mentalitas kelompok" memiliki potensi bahaya yang besar. Kita bisa kehilangan akal sehat dan independensi, karena melebur dengan sentimen kelompok, yang sebenernya hanya ilusi. []




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline