ANDA pernah dengar istilah “covert marketing”? Jika belum, googling-lah.
Pada prinsipnya, istilah tersebut kalau diterjemahkan secara bebas dan umum artinya: bagaimana mengatakan sesuatu tanpa ingin terlihat bermaksud mengatakan sesuatu tersebut.
Ini sebenarnya adalah salah satu metoda pemasaran, tentang bagaimana promosi tanpa ingin terlihat promosi. Contoh nyata dari covert marketing adalah "product placement" yang muncul pada berbagai film, video klip musik atau jenis tontonan lain.
Jika kita pernah menonton film seperti “Risky Business”,“Forrest Gump”, atau “You’ve Got Mail”, kita tentu pernah melihat berbagai merk produk yang nyata muncul dan digunakan secara natural oleh karakter dalam film tersebut. Sebut saja produk kacamata “Ray Ban”, sepatu olahraga “Nike”, produk komputer “Apple”, atau provider internet AOL dan seterusnya. Produk-produk tersebut muncul secara menyatu dengan karakter yang menggunakannya, dan tanpa sadar kemunculannya membangun “brand image” bagi produk tersebut yang berpengaruh dalam pemasaran. Dengan kata lain, film menjadi “buzzer” untuk merk produk-produk tersebut.
Di luar konteks marketing (komersil), tanpa sadar sebenarnya banyak yang menggunakan metoda semacam ini untuk memamerkan sesuatu, terutama di media sosial. Banyak orang ingin pamer tanpa harus kelihatan bahwa dia sedang pamer. Ya, karena “pamer” secara plain begitu saja sangat tidak elegan. Harus ada “sesuatu” yang bisa ditebengi. Inilah yang kemudian saya sebut secara bebas dengan istilah “covert pamer”. Hal tersebut mirip dengan istilah urban “humblebragging”.
“Humblebragging”, secara harfiah artinya adalah “menyombongkan diri (pamer) dengan rendah hati”. Suatu sikap memamerkan kelebihan diri dengan cara yang sebaliknya. Seringkali bahkan dikemas dalam bentuk keluhan.
Saya ambil contoh sederhana. Anggaplah seseorang bikin status begini:
"Duh, kesel banget hari ini. Saya diserempet konvoi pemotor alay sampe spion saya patah. Sial banget, kan susah nyari spare part spion Lamborghini, harus pesen langsung dari luar".
Dalam status tersebut, jika disimak, sebenernya si penulis tidak sedang berniat ingin menceritakan kisah sialnya diserempet konvoi pemotor alay. Tapi ingin pamer ke audiens bahwa dia punya Lamborghini. "Diserempet konvoy motor" itu cuma "opening story" saja.
Saya ambil contoh lain dalam bentuk foto. Misal seseorang meng-upload foto secangkir kopi dengan beberapa buku yang berjudul "berat" di sampingnya. Kemudian ada caption: "Nikmatnya ngopi di pagi hari" atau sekadar menulis ucapan "Morning all..", dst. Bisa dibaca, sebenarnya dia tidak sedang bermaksud meng-upload foto secangkir kopi, tapi ingin menunjukkan kesan pada audiens bahwa dia "smart" dengan buku-buku berjudul berat sebagai latar samping. "Kopi pagi" cuma medium saja.
Dalam pengamatan saya, banyak sekali fenomena “humblebragging” dan “covert pamer” di medsos. Baik itu di Facebook, Instagram, Path atau lainnya. Baik dalam bentuk foto atau status.