Nobar ituuuu nonton bareng. Bareng keluarga. Bareng teman. Bareng suami/istri. Diajak, maupun mengajak. Gratis, maupun berbayar.
Nobar bagi saya, bukan karena haus hiburan. Walau 2 tahun di awal pernikahan, rumah tangga saya tanpa TV. Walau sudah 5 tahun terakhir ini, juga kembali tanpa TV. Tenang terasa hidup ini, seiring ketiadaannya.
#Hahaha, baru 7 tahun tanpa TV saja sudah bersyukur banget. Apalagi yang sudah beberapa dekade yak!
Nobar bagi saya, karena kebersamaannya. Sama ide, sama tujuan. Plus ramean, keroyokan, heboh, seru, dan pastinya asyik. Apalagi karena saya tahu, film yang dipilih untuk ditonton pasti juga sudah sesuai dengan visi dan misi grup atau komunitas yang saya ikuti. Dan saya, akhirnya merasa aman karenanya. Dengan was-wes-wos pengantar dan promosinya, ngepas pula dengan psikologis komunitas, jadilah.
Beberapa tahun yang lalu, saya nonton bareng sesama guru, "Lasykar Pelangi". Dengan ebook yang saya baca, wah jauh. Iya jauh. Karena kalau membaca kan imajinasinya terserah kita. Sesuai dengan keluasan pengalaman & jelajah khayal kita. Sementara kalau di film, imajinasi kita diarahkan produsernya (maaf kalau saya salah).
Pernah juga bersama siswa, nobar film "Ketika Mas Gagah Pergi". Bergabung di TKP, barengan dengan siswa dari berbagai sekolah lain.
Atau, pernah diajakin anak-anak gadis saya nobar film "Surga yang Tak Dirindu". Yang ini mah nontonnya nurutin emaknya. Bisa dipause berkali-kali, karena nobarnya di HP. Hahaha. Pake berdesakan lagi. Kenapa gak makai ipad saya saja ya waktu itu? Gak kepikir sama sekali. Ya sudahlah, sudah terlanjur maksud saya. Yang penting hepi. #tepuk jidat.
Atau pernah, saya nobar bersama suami. Dengan rasa bersalah, meminta ijin pada anak-anak karena hendak meninggalkan mereka malam hari demi nonton "Ainun". Sekali lagi, dengan rasa bersalah. Karena kami untuk hal yang satu ini, bukan (belum) type penikmat both time. Maunya gerudukan weee, sama anak-anak.
Nobar bagi saya, karena momentnya. Kali ini sedang hangat kebangkitan umat. Film bernuansa Islami mulai bangkit. Dan butuh dukungan dari berbagai pihak. Dan saya, ingin film-film beginian tetap hidup. Sebagai alternatif hiburan bagi yang memang suka. Kesannya, saya kayak pahlawan ya. Klasik. Biarlah. Burung saja ikut memadamkan api dengan siraman air dari paruhnya, saat kobaran api membakar Nabi Ibrahim a.s. Ketika ditertawakan, dia berucap,
"Memang air yang kubawa dengan paruh kecilku ini, tak akan mampu memadamkan api itu. Tapi usahaku ini sudah menunjukkan, di pihak mana aku berada."
Nobar bagi saya, karena keterikatan. Keterikatan secara psikologis, dengan komunitas. Yang saya ikuti baru-baru ini, adalah komunitas Bandaya. Banten Berdaya. Suatu komunitas yang dari oleh, dan untuk kita. Agar kita benar-benar berdaya secara ekonomi di provinsi, dan negeri sendiri. Dari urusan pelayanan jasa & barang. Dari perlengkapan kantor dan urusan lidah, sang juragannya ada di situ. Bukankah berniaga adalah sunnah Rasulullah SAW? Saya memang belum bisa sefokus mereka. Namun dengan bergaul bersama mereka, mudah-mudahan membuat saya terperciki wanginya. Minimal, kalau butuh apa-apa tidak lagi lari ke asing dan aseng. Karena sudah banyak saudara saya di sini.