Menjalani hidup tentu akan banyak hal yang bisa direncanakan. Namun, anehnya ndak jarang pula, berbagai rencana itu mleset di luar kuasa kita sebagai orang biasa. Soal keluarga, persahabatan, pendidikan, bahkan juga realitas sekitar kita.
Baru-baru ini saya mengalami jungkir balik kehidupan yang rasanya kayak roller coaster, tapi tanpa sabuk pengaman. Kadang bikin nyengir sambil berkata, "Hidup memang lucu ya?", kadang bikin merengut, dan nggak jarang bikin ketawa getir sambil melirik langit, berharap ada helikopter yang bisa datang menjemput. Hidup, ya, begitu lah. Sudah ditakdirkan jadi orang dengan hambatan visual, anak pertama, ditambah tuntutan keluarga, dan masih juga harus survive di atas planet yang penuh kejenakaan ini.
Skripsi yang Bikin Gigit Jari
Kerunyaman ini dimulai lagi saat keruwetan dosen atas proposal skripsi yang bikin puyeng. Seolah-olah ingin menenggak obat puyer yang dijual di warung-warung kelontong. Namun, apakah setelah meminum obat itu, lantas masalah akan hilang juga? Tentu tidak. Harus memaksa diri tetap tersenyum, tegar, seolah-olah kuat, dan harus mampu menyembunyikan kerapuhan yang setia menyelimuti pribadi yang biasa-biasa saja ini.
Pada akhirnya saya memutuskan untuk tetap berjuang. Ya, tentu. "BERJUANG" yang mana di dalamnya tentu bukan berisi kado piknik ke Dufan, vocer murah Indomaret, mau pun hal-hal seru lainnya. Akan tetapi sebuah rasa lelah, runyam, sakit, dan sebagainya. Di mana kesemuanya itu bila dipikir-pikir lagi, sebenarnya akan membentuk pribadi yang lebih kokoh.
Perlahan tapi pasti, keputusan demi keputusan saya ambil. Mencari alternatif tema, judul, dan berkomunikasi dengan banyak orang untuk mendapatkan kajian yang sesuai dengan jurusan saya di kampus. Hmmmm. Semua itu tentu dijalani sebagai pria buta yang berteman setia dengan tongkat putih.
"Kamu harus berjuang untuk masa depan yang lebih baik!"
"Kalau mau malas-malasan, silahkan. Tapi silahkan nikmati juga kemiskinan yang pasti terjadi kalau dirimu itu malas secara profesional.."
begitulah beberapa afirmasi yang saya gunakan untuk melecut diri tiap merasa lelah dengan tiap vase perjuangan. Tidak enak memang. Tetapi ya, itu lah yang haru sdilewati. Saya bukan terlahir sebagai anak orang kaya, penuh kesempurnaan fisik, dan sejenisnya. Tapi saya menyadari kalau dengan kebutaan ini, berarti saya harus berkali-kali lipat untuk berjalan dalam tiap langkah perjuangan.
Menggeluti Sebagai Kuli Aksara
Waktu terus berjalan. Mulai tantangan ekonomi, sudah tidak mendapat suport keuangan dari orang tua, dan para sahabat dekat yang mulai menjauh. Hal-hal tadi membuat saya akhirnya memutuskan untuk menguatkan skill kepenulisan.