Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Itulah salah satu sterotipe yang di lekatkan pada profesi "Guru". Apalagi kalau menjadi guru di sebuah madrasah Sanawiah (MTS), setingkat SMP tapi versi Islami. Wuiih! Lengkap nian pengabdian dan emban yang harus di tanggung. Soalnya harus bisa seimbang antara ilmu duniawi dan ilmu agamanya.
Menekuni profesi guru berarti harus siap dengan segala kondisi. Entah murid yang begajulan, susah diajak berkompromi saat KBM (kegiatan belajar mengajar) berlangsung, dan harus mau menciptakan metode ajar yang harus di sesuaikan dengan karakter murid. Sungguh tidak ringan.
Perkerjaan seberat itu, ironinya di klaim sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Menurut saya, harusnya profesi guru itu malah menjadi bidang yang harus di perhatikan. Dan bagusnya adalah guru merupakan pahlawan yang perlu diberi tanda jasa. Biar mereka mendapat pandangan yang lebih diperhitungkan.
Nah, Belum lama saya diberi amanah oleh salah satu MTS di daerah Sleman untuk mengajar Ekstrakurikuler. Tepatnya yaitu ekstrakurikuler hadrah. Ini berawal dari kegemaran saya di bidang kesenian musik religi, yaitu hadrah/selawat. Sebuah kesenian yang menggunakan alat musik rebana dan nyanyian selawat sebagai lagunya.
Bermula dari Ikut UKM di Kampus
Saya menekuni kesenian hadrah sudah sejak kelas 4 SD. Semua itu saya nikmati prosesnya. Mengenal alat, ketukan, dan sejenisnya yang terkait dari kesenian ini. Hingga, saat masuk di bangku kuliah, saya memutuskan untuk mengikuti unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yaitu Al Mizan Uin sunan kalijaga.
Di Al Mizan, saya masuk divisi selawat. Saya resmi menjadi anggota pada 2021. Banyak story dan perjuangan saya lalui. Latihan, diskusi, show, dan lain-lain. Hingga pada awal 2023 saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar di salah satu MTS di Sleman, sebagai pengajar ekstrakurikuler hadrah.
Mengajar pada kondisi murid sudah lelah
Sewaktu pertama kali menginjak halaman Mts, saya di sambut langsung oleh wakil kepala sekolah. Mereka menginformasikan kalau hadrah di Mts ingin kembali di hidupkan. Karena selama covid, aktivitas ekstrakurikuler itu tidak ada.
Kondisi lapangan yang saya temui, rata-rata yang ikut ekstra ini hanya karena bermodalkan coba-coba. Sedikit sekali yang memiliki pengalaman mengikuti majelis ataupun grup hadrah. Mungkin dari 10 6 di antara siswa/siswi yang ikut, itu belum pernah terjun di kesenian ini.
Tuntutan untuk menghidupkan itu pertamanya saya kira akan mudah. Ternyata tidak! Bagai mana tidak? Kelas ekstrakurikuler itu di mulai pada pukul 14.15 WIB, tepat saat jam pulang sekolah. Di sini, Saya harus mengajar dari basic. Tentang pengenalan alat, cara memegang alat, dan teknik memukul, tapi dalam kondisi siswa itu sudah lelah. Banyak kejadian bolos, tidak fokus, dan saya berulang kali memutar otak, tapi ya itu. Kalau tubuh lelah memang obatnya istirahat. Bukan malah mikir lagi. Tapi tuntutannya adalah hadrah harus hidup plus sewaktu-waktu di minta tampil, itu harus siap. Sedangkan kondisi belajarnya kayak gitu. Gimana saya ndak pusing?