"Setop, Bang!" teriak gadis berkerudung dari bangku belakang bus yang kubawa.
***
Kendaraan berkelir emas, yang sudah tiga turunan di wariskan oleh pendahulu keluargaku, merapat halus di sebuah plang yang bertuliskan Wanito Ndalu. Sebuah jalan sempit, di pinggir kota, entah menuju ke mana. Kalau bisa di banggakan, aku sampai hafal tempat pemberhentian setiap penumpang. Termasuk si gadis ini.
"Okeh, Mbak! Hati-hati, ini kembaliannya," kuberikan uang itu, lantas si gadis memasuki gang tersebut.
Banyak cerita memang dari penumpang yang kubawa. Tetapi, perempuan yang berbusana tertutup itu sangat misterius bagiku. Duduk selalu di bangku belakang, diam, dan tidak pernah bersuara. Berbeda dengan penumpang lain yang selalu berisik.
"Ayoo! Pojok beteng, pojok beteng!" teriakku, lantas melajukan bus.
Gemerlap kota pelajar di depanku memang berbeda. Para mahasiswa berkeliaran menyerbu jantung kota, mengisi kepenatan setelah selesai ngampus. Pemandangan sekelompok orang dengan gitar dan sorai nyanyian menjadi bumbu kemeriahan kota gudek ini.
"Itu tadi perempuan dengan tampilan muslimah, kok malah masuk gang situ yaa?" tanya penjual jamu padaku.
"Sudahlah, mbak! Tidak penting membahas urusan orang."
"Lha tapi kan ndak pantas to, Mas! Masak berbusana tertutup kaya gitu, masuk gang yang sering dibuat jajan lelaki belang," nyinyirnya.