Lihat ke Halaman Asli

Wachid Hamdan

Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Aku dalam Bayanganmu

Diperbarui: 21 April 2023   00:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore yang di temani senandung gerimis langit samarkan air mata ibu. Perempuan kuat itu, tampak tenang menceritakan manis cintanya saat awal bertemu dengan ayah. Tetapi air matanya seolah mengungkapkan hal lain. Misterius, dalam, dan tidak bisa kupahami sebagai seorang anak---tentang air matanya---entah bahagia atau justru sebaliknya.

"Ayahmu itu lelaki yang sangat mencintai ibu, Nak. Awal saat bertemu dengannya, ia seolah sudah menitikkan separuh hatinya. Meski itu belum diucapkan ayahmu."

Selepas menutup kisah itu ibu lantas pamit ke belakang. Langit di atas sana mulai kian meredup, di gantikan ratusan gemintang yang mulai bermunculan menyapa bumi. Sudah waktunya ia menyiapkan makan malam. Kisah ini adalah cerita yang sama dari sekian cerita yang ia sampaikan. Entah, mungkin aku sudah mendengarnya ratusan kali pengulangan dari kisah asmara itu. Dalam, tidak bertepi, dan hanya pujiannya saja yang berbeda.

Kursi kayu yang diduduki ibu, kini lengang. Hanya ada rasa hangat bila kusentuh bantalan kursi itu. Kehangatan yang menyimpan kedamaian. Meski aku kini tidak pernah  merasakan hangat rengkuhannya , karena aku telah dewasa. Anganku selalu melayang, saat ibu menggambarkan ketampanan ayahku itu menurun padaku. Lelaki yang selalu menggunakan Jas hitam berbalut kaus putih, dengan bawahan sarung putih yang menjadi pakaian utama ayahh semasa masih di pondok kini muncul dalam benakku.

"Nur! ngapain kamu? Ngelamun aja," sapa Yusuf yang kebetulan lewat teras rumah.

"Ahh. Ndak apa-apa, Suf! Biasa mikir konten buat artikelku," Jawabku bohong. Sudah menjadi jadwal rutin Yusuf untuk mengunjungi rumah. Setiap sore sambil menunggu maghrib, ia akan melaporkan omset dari usaha bersama kami dalam bidang bibit ikan emas.

***

Pak Gimin itulah namanya, Sosok lelaki pujaan ibu. Seorang lulusan pesantren Kerakitan, Tempel, Yogyakarta itu selalu di kenal masyarakat sebagai sosok yang alim. Figur yang selalu menjadi andalan dalam event desa; rujukan untuk berdoa; menjadi pewakil atur ngendiko dalam sowan di event syawalan desa; ketua di salah satu jamaah selawat dan mujahadah di perkumpulannya, menjadikan dirinya sosok terhormat. Baik di keluarga maupun masyarakat.

"Ayahmu itu selalu menjadi kebanggaan teman-teman. Ia selalu menjadi imam yasinan di asrama pondok," tutur ibu.

Dalam cerita ibu, mereka bertemu saat ibu  mendaftar dan mengikuti program pendidikan di salah satu pondok  daerah Bantul. Tempat yang mengakomodasi orang-orang yang ingin memiliki skill untuk berkerja. Ada yang belajar reparasi alat elektronik, cara membuat alat bersih-bersih rumah tangga, dan ada juga yang belajar teknik bekam. Ibu kenal ayah saat ia menjadi siswa baru  dan  mendapatkan kesempatan untuk berkenalan di depan kelas.

"Saya Mimin! Dari Kulonprogo," tutup ibu pada perkenalanya. Kelas yang tadinya sepi, sontak ramai. Ada yang saling menyebut nama, namun ada juga yang bertanya lebih lanjut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline