P R O K L A M A S IKami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakandengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05Atas nama bangsa Indonesia.Soekarno/Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun negara kita!Negara merdeka, negara Republik Indonesia! Merdeka, kekal, abadi! Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini. (Kutipan piato proklamasi 17 Agustus 1945)
Kamis 16 Agustus 1945 malam, rumusan naskah Maklumat kemerdekaan sudah harus dibuat dan dibacakan keesokan harinya. Namun, Sukarno dan Mohammad Hatta serta tokoh lain terkendala oleh lokasi yang aman untuk merumuskan pernyataan kemerdekaan itu. Awalnya, penyusunan naskah Proklamasi direncanakan dilakukan di Hotel Des Indes di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, lantaran anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) banyak menginap di hotel tersebut. Namun, pihak hotel menolak tempatnya dijadikan lokasi rapat karena terganjal aturan jam malam yang ditetapkan Jepang. Pada titik inilah terjadi kebingungan, sementara waktu terus berjalan. Malam semakin larut.
Saat itulah Ahmad Subardjo, penasihat dan anggota PPKI, teringat sahabatnya, Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang yang tinggal di Jalan Meiji Dori No 1 (sekarang Jalan Imam Bonjol) Jakarta Pusat. Segera saja dia menelepon Maeda, yang kemuian Maeda menyatakan bersedia kediamannya digunakan untuk lokasi rapat, meski dia sendiri tidak tahu pasti rapat apa yang akan digelar. Subardjo kemudian juga mengontak anggota PPKI yang menginap di Hotel Des Indes untuk segera merapat ke rumah Maeda.
Sukarno, Hatta, dan Soebardjo kemudian beranjak ke ruang makan. Di ruang itu, sekitar pukul 02.00 mereka bertiga berembuk dan memikirkan kalimat yang harus ditulis untuk menggambarkan kemerdekaan. "Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir lengkap," kata Sukarno seperti dikutip Hatta dalam memoarnya.
"Apabila aku mesti memikirkan, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekan," jawab Hatta.
Versi cerita berbeda datang dari Subardjo. Sukarno bertanya ke Subardjo, "Masih ingatkah Saudara teks dari Pembukaan Undang-undang Dasar kita?" Subardjo adalah teman Hatta sejak masa sekolah di Belanda dan menteri luar negeri RI yang pertama.
"Ya, masih ingat tapi tidak seluruhnya," balas Subardjo seperti diungkap kembali dalam buku Lahirnja Republik Indonesia. Ia pun kemudian mendiktekan ke Sukarno.
Akhirnya, disepakati kalimat pertama itu berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia." Namun, Hatta menganggap, kalimat itu kurang memadai. Harus juga disusupkan soal "cara menyelenggarakan" revolusi nasional.
Maka, Hatta mendiktekan kalimat berikut: "Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Naskah itu awalnya diberi judul "Maklumat Kemerdekaan". Namun dengan pertimbangan bahwa maklumat itu merupakan suatu keputusan dari suatu badan atau pemerintahan, maka diganti dengan kata-kata yang lebih mencerminkan keputusan suatu bangsa yang menyatakan kebebasan dari penindasan penjajah. Maka dinamailah maklumat itu "PROKLAMASI"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H