Lihat ke Halaman Asli

Pembatasan yang Seharusnya Dibatasi

Diperbarui: 15 November 2019   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: idn times

22 Mei 2018, Kementrian Komunikasi dan Informatika akhirnya membatasi penggunaan media sosial. Pembatasan dilakukan pada dua aplikasi yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia, Instagram dan WhatsApp.

Situasi yang tidak terkendali di lokasi demonstrasi, tepatnya didepan gedung Bawaslu membuat seluruh elemen masyarakat panik, tidak terkecuali Kementrian Komunikasi dan Informatika. Berawal dari beredarnya pesan berantai dan postingan kebencian mengenai kecurigaan masyarakat terhadap sekelompok anggota Brimob yang diduga merupakan WNA membuat keadaan semakin panas.

Ketegangan di media sosial semakin terasa ketika salah satu anggota brimob yang juga seorang influencer di Instagram membagikan keadaan secara langsung menurut sudut pandangnya. Keadaan dimana informasi, baik valid maupun tidak, sangat mudah diakses masyarakat dari segala lapisan tanpa ada kontrol dari pemerintah membuat suasana di lapangan maupun media sosial semakin keruh.

Demonstran semakin panas mendengar ada WNA yang ikut campur urusan negaranya, sedangkan pengguna media sosial di lokasi mereka masing-masing merasa takut keadaan semakin tidak terkendali dan berujung seperti tragedi 98. Kejadian 98 memang memberikan bekas luka bagi sebagian orang. Isu SARA yang kental tersebar pada aksi 21-22 Mei 2019 seperti mengingatkan kembali akan pahitnya perpecahan akibat elit politik. Agar kejadian tersebut tidak terulang,  pembatasan penggunaan media sosial dilakukan pada tanggal 22 Mei dan berlangsung cukup lama, hampir 10 jam. Pembatasan yang dilakukan pemerintah bisa dibilang berhasil. Setelah diberlakukan, keadaan berangsur kondusif dan kerusuhan dapat dilerai.

Pembatasan media sosial dengan alasan membatasi informasi yang tersebar di masyarakat pada dasarnya menyalahi aturan yang berlaku. Setiap orang berhak mendapatkan informasi dan hak tersebut dilindungi oleh undang-undang. Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju mengatakan pembatasan akses internet dan media sosial seharusnya didasarkan pada adanya bukti atau terjadinya suatu kejahatan.

Menurutnya langkah ini tidak bisa sembarang dilakukan lantaran dalih pemerintah untuk menahan penyebaran hoaks tidak boleh sampai mengorbankan azas praduga tak bersalah.

Seperti lupa daratan, pemerintah tidak mensortir akun yang membagikan konten yang sensitif di media sosial, padahal pemerintah memiliki akses untuk melacak identitas pemilik akun setelah menetapkan pendaftaran nomor telepon kepada pemerintah. Dengan berlindung di balik UU pasal 40b UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE, pemerintah merasa memiliki wewenang untuk melakukan pembatasan. Wewenang itu memang ada, tetapi konteksnya mencegah ketimbang merespons situasi yang sedang memanas. Menurut direktur eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, pembatasan internet dan media sosial dapat dilakukan, namun merupakan langkah terkahir.

Setiap tidakan yang diambil, pasti memiliki sebab-akibat. Tidakan pembatasan yang diambil pemerintah tentu memiliki dampak di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Dengan melakukan pembatasan, pemerintah seakan mengakui dan enggan memperbaiki keadaan dimana mereka gagal untuk menyaring berita yang beredar di masyarakat. Pemerintah juga menunjukan ketakutan dan kegelisahan mereka terhadap massa. Dan dengan pembatasan, pemerintah seakan mencoreng demokrasi Indonesia yang selalu dijunjung tinggi.

Namun seperti menutup mata atas kerugian yang masyarakat alami akibat kepentingan politik golongan, pemerintah berencana untuk membatasi media sosial kembali pada saat sidang MK. Selain kerugian yang sudah disebutkan, bukankah pemerintah seharusnya malu untuk bergantung pada pembatasan media sosial?

Di balik pembatasan media sosial, harapan akan kondusifnya keadaan negara di tengah pergolakan politik yang kental memang terasa. Entah memang peraturan yang menetapkan atau takdir yang menentukan, pengumuman hasil pemilu dan sidang MK yang diajukan salah satu paslon berlangsung di sekitar bulan Ramadhan. Seharusnya, keadaan dapat lebih tenang karena suasana Ramadhan yang kental menyelimuti agenda lima tahun sekali ini. Namun, sepertinya ego dan nafsu politik sekelompok orang lebih tinggi nilai nya dari makna Ramadhan.

Melihat keberhasilan pembatasan media sosial dalam menghadapi hoax, sepertinya pemerintah merasa ketagihan. Setelah diumumkan wacana kembali dilakukan pembatasan media sosial pada saat sidang MK, pemerintah seakan mencari jalan cepat dan mudah tanpa ada kajian kerugian. Padahal pembatasan meningkatkan pengguna VPN, kesulitan untuk berhubungan dengan orang dekat, dan kerugian ekonomi yang dialami online shop maupun pembuat konten instagram.
Memang sulit membendung informasi di era digital yang serba cepat sekarang ini. Semua orang dapat menelan mentah-mentah informasi yang didapatkan. Namun, tidak seharusnya orang lain yang menggunakan media sosial sebagai sumber pencari nafkah menanggung kecerobohan pemerintah dalam mengejar globalisasi dan modernisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline