Dalam sekejap saja, deru mesin kereta telah berdecit. Meninggalkan penjual nasi langgi yang sibuk membungkus dagangan dan menunggu kapan pembeli merayap menyelamatkan perut mereka yang digombali keroncongan. Ya, pagi ini adalah pagi yang lain dari biasanya. Pagi yang terasa lain bagi lelaki yang akan menjumpai kota kelahirannya di ujung sana.
Dipandanginya satu demi satu penumpang yang duduk satu gerbong dengannya. Tampak di raut wajah mereka, pancaran kebahagiaan menuju tempat tujuan masing-masing di seberang. Pancaran wajah kebahagiaan yang selamaini menurutnya jarang ia dapatkan. Ia merasa hidup terkungkung di kota besar dengan kebahagiaan yang semu dan jarak rindu yang lama-lama telah meranggas.
Matanya terus berkelana, menatap raut wajah para penumpang yang sedari tadi sibuk bercanda, berbagi, dan bergurau dengan santainya. Ia membuka tasnya, mengambil sebuah buku dan membuka halaman tengahnya. Diambilnya 3 lembar foto masa kecilnya. Setiap foto dilihatnya lama secara mendetail.Tampak di matanya, jutaan kenangan kembali bergaung. Bak sebuah rol film yang diputar ulang ke belakang. Tangannya menggenggam erat foto-foto itu, seerat ia menggenggam kenangan. Ia tak tahu apa tujuannya pulang saat itu. Ia hanya ingin menuruti saja kemauan kakaknya yang menyuruhnya pulang.
Sudah 6 tahun ia tak menjamah kota kelahirannya. Termasuk rumah dan sanak saudara yang juga tak tahu bagaimana kabarnya. Jabatan dan popularitas tinggi yang dimilikinya di kota besar, membuatnya tak sebebas dulu.Membuatnya dibatasi oleh tembok sistem dan relasi kekuasaan kapitalisme yang sering membuatnya diperbudak oleh keinginan materi saja. Ia pernah lupa. Pernahlupa bagaimana dulu hidupnya pada suatu kota. Kota yang memberikan penghidupan,memberikan bekal dan menjadikannya insan yang penuh dengan kekuatan melangkah ke kota besar.
Ia juga pernah lupa. Sosok paling tegar yang menghidupinya dari setiap bulir keringat yang dipacu bersama harapan. Sosok yang dulu diberikan keyakinan olehnya tentang jaminan masa tua apabila ia diperbolehkan bekerja dikota. Lalu diberikannya juga sebuah harapan, tentang apa itu sebuah kebersamaan ketika usianya tak lagi muda. Dan mungkin dalam kegagahan yang dimilikinya sekarang adalah berkat kiriman doa darinya, yang tak putus.
Ibu.
Ya, mungkin selama ini ibu hampir dilupakannya. Sejak kematian ayahnya 3 tahun lalu, sang ibu hidup sendiri. Hanya ditemani lukisan-lukisan yang digoreskan lelaki itu semasa kecil. Ditemani janji-janjinya yang bergema di dinding rumah. Janji yang mengatakan bahwa ia akan rajin pulang satu bulan sekali. Ha-Ha-Ha. Mungkin lucu sekali, bila ia mengingat kembali janji-janjinya itu kini.
Dilihatnya lagi foto yang sedari tadi digenggamnya. Di semua foto ada ibunya. Ada foto ketika ia pertama kali bisa berjalan, foto ketika ia merayakan ulang tahun ke-17, hingga foto ketika ia wisuda. Ah! Darimana saja ia selama ini. Seruan telpon dan pesan singkat yang berulang kali datang dari sanak saudara dan memintanya pulang tak pernah dihiraukannya.
Di kehidupannya sekarang, ia sering merasa risau. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Ia terlalu sering mendapatkan kehidupan yang semu dan kebahagiaan yang menurutnya tak paten. Ada yang hilang. Benar-benar baginya ada yang hilang. Materi dan asset yang dimilikinya sekarang tak lagi bisa membuatnya terbahak. Pendar gemerlap sinar kota tak pernah lagi memberinya ketentraman. Ia kehilangan sesuatu.
Ia kehilangan restu ibu.
Dan ia baru menyadarinya kini. Di tengah kereta yang terus melaju. Di tengah gumpalan awan dan sederet padi yang berjejer di sawah hijau yang tampak di kanan-kiri. Ia merasa datar. Bahwasanya ternyata apa yang menjadi fokus hidupnya selama ini adalah samar. Lalu untuk siapa semua pencapaian dan perolehannya selama ini? Diri sendiri? Bukan. Tapi untuk ibu. Seperti janjinya ketika dulu. Dan lagi-lagi ia juga lupa itu. Uh!