Lihat ke Halaman Asli

Hikayat Surga Teluk Benoa

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teluk Benoa adalah sederet dari beberapa titik emas pulau Dewata yang luar bisa. Teluk yang berada kabupaten Badung Bali ini, menjadi salah satu potensi bagi pertumbuhan hutan mangrove. Di sanalah pertumbuhan hutan-hutan bakau bersemai. Tidak saja sebagai proses penyelamatan terhadap fungsi pantai, tetapi juga menjadi bagian integral dari pemeliharaan ekosistem. Teluk Benoa adalah ruang dimana pelbagai ekosistem alam seperti laut dan tumbuhan menyatu menjadi sumber potensi yang indah. Teluk Benoa adalah bahasa lain tentang titik dimana harapan akan keseimbangan alam benar-benar dipertaruhkan.

Namun hari ini, Teluk Benoa yang indah dan kaya tersebut dihadapkan pada persoalan getas yang belum tuntas. Keindahan alam dan pertumbuhan hutan di setiap pantai mengalami pendangkalan, sedimentasi, dan abrasi yang luar biasa.  Jika di teliti lebih jauh, pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi di Pulau Pudut misalkan, dari luas awal sekira 8 hektar kini tinggal menjadi 1,055 hektar. Angka ini merupakan pukulan telak yang menyakitkan. Setidaknya kini Teluk Benoa telah dilanda penyakit kronis yang sungguh ironis. Jika pada mulanya Teluk Benoa menjadi pusat bagi pertumbuhan magrove dan ruang untuk memanjakan mata bagi setiap para pengunjungnya, kini Teluk Benoa itu dangkal, menjadi pusat dari tumpukan sampah. Sehingga siapapun yang datang ke Teluk Benoa yang tampak adalah senyatan sebuah Surga yang tinggal menjadi cerita.

Bahkan lebih dari pada itu kerusakan lingkungan akibat sampah, para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada Teluk Benoa pun dilanda kegelisahan yang panjang. Akibat pendangkalan, abrasi, dan sedimentasi nelayan tidak lagi mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah ruah. Bagi nelayan, Teluk Benoa tak lagi menjadi 'surga' yang subur, tetapi telah menjadi sejenis ‘bukit sahara tandus’ yang kering dari ikan dan potensi lain yang bisa dimanfaatkan untuk sekedar melanjutkan hidup.

Tangan-tangan kotor

Sebenarnya, persoalan pendangkalan dan sejenisnya merupakan persoalan yang telah klise. Persoalan yang sejnis seringkali terjadi di beberapa pantai dan laut di negeri ini. Pendangkalan adalah salah satu problem dunia laut akibat tangan-tangan jahil manusia yang tak bertanggung jawab. Seakan-akan tanpa beban kelangsungan ekologis, manusia cenderung melakukan pengrusakan nyata, membuang sampah sembarangan adalah beberapa prilaku yang terus menerus dilakukan.

Dalam kasus Teluk Benoa, motif-motif logis dari kerusakan pantai juga dilatar belakangi oleh tangan-tangan masyarakat itu sendiri.  Sampah-sampah itu mempercepat pendangkalan dan berkontribusi mempercepat kematian mangrove di sekitar Teluk Benoa. Kenyataan semacam ini tentu cukup merasahkan, tetapi itulah karakter dasar manusia yang seringkali menempatkan  alam sebagai tempat untuk membuang sesuatu yang melekat dalam kedirian manusia itu sendiri.

Fritjof Capra (1956) memberikan tesis sederhana tentang krisis ekologis akibat ulah manusia. Baginya krisis ekologis adalah sejenisnya sindrom mengerikan. Jika manusia tidak cepat sadar bahwa dirinya adalah penyebab dari semua itu maka keindahan dan keseimbangan sebuah alam -termasuk di dalamnya adalah lautan-  tidak dapat dikembalikan pada wujud semula (irreversible). Akibatnya, alam akan menjelma sebagai ancaman yang membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Sehingga memahami sebuah ekosistem, tidak cukup hanya dengan kerangka pikir sistematis an sich, tetapi juga dimensi futuristik

Apa yang terjadi di Teluk Benoa merupakan bukti bagaimana kearifan sebuah kebudayaan dalam komunitas masyarakat tertentu belum mampu menjadi bagian integral dalam mendorong dirinya berlaku arif pada ekosistem. Akibat manusia, kini Teluk Benoa menjadi semacam teluk bernilai tawar rendah. Seperti halnya teluk-teluk lain di luar pulau Bali, tak ada lagi ‘mutiara’ yang bisa menjadi pemantik dan daya pikat bagi masyarakat luas. Sebab semuanya telah berubah. Masyarakat Bali terutama masyarakat di sekitar teluk kini rindu jalan pulang menuju Teluk Benoa yang sesungguhnya. Teluk Benoa yang menjadi sumber inspirasi, mata pencaharian, dan keindahan sebuah alam yang tidak ada duanya.

Revitalisasi ekologis

Nasi belum menjadi bubur. Itulah pengandaian yang pas untuk mendeskripsikan masa depan teluk benoa yang hari menyisakan problem. Di tengah problem pendangkalan yang terjadi, diakui atau tidak mencari ruang-ruang diskursif dalam rangka memperbaiki ekosistem Teluk Benoa adalah harga mati yang tidak bisa ditepis. Teluk Benoa bukanlah danau melainkan eustaria yang langsung berhubungan dengan alam laut. Sehingga langkah revitalisasi menjadi kunci yang tidak bisa ditawar. Menyelamatkan Teluk Benoa adalah jihad menyelamatkan keseimbangan alam. Meminjam istilah Tarsoen Waryono, keseimbangan alam adalah kunci bagi hadirnya kedamaian dan kearifan manusia. Menghargai alam, berarti menghargai masa depan.

Revitalisasi pada titik klimasknya akan memberikan manfaat ekologi berupa pemulihan alur, pelimpasan air laut dan penambahan areal terbuka hijau. Sementara bagi masyarakat dan pemerintah akan memperoleh manfaat sosial-budaya serta manfaat ekonomi. Sehingga Teluk Benua akan menjadi sumber berkah bukan lagi  sebuah ancaman musibah. Teluk Benoa akan kembali ditasbihkan menjadi surga baru bagi siapapun yang mengunjuginya. Tidak hanya untuk wisatawan, tetapi juga surga bagi masyarakat sekitar terutama nelayan yang hari ini berada pada kubangan hidup yang tak menentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline