Lihat ke Halaman Asli

Revitalisasi Teluk Benoa: Tulang Punggung Kebudayaan

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari ini, ada spekulasi sederhana yang cukup senter menyeruak ke permukaan. Spekulasi tersebut memuat sejumlah asumsi yang menyatakan bahwa Teluk Benoa adalah pembangunan yang akan berpotensi merusak kebudayaan pulau dewata. Pernyataan tersebut muncul secara resisten dan terus menerus dihembuskan oleh kelompok-kelompok yang menolak pembangunan revitalisasi Teluk Benoa. Kebudayaan yang menurut mereka melekat dengan gugus budaya adiluhung akan tergerus tergantikan oleh wajah kebudayaan baru. Entah logika apa yang digunakan untuk menciptakan asumsi yang terlihat provokatif itu.
Apa yang digelisahkan tersebut, secara de jure dan secara de facto, tentu tidak beralasan. Sebab Teluk Benoa merupakan proyeksi pembangunan yang justru akan mendorong percepatan penguatan kebudayaan pulau dewata. Sebab ia tidak saja akan mempermudah fungsi wisata dalam kaitannya dengan ekonomi warga, tetapi akan menjadi legitimasi bagi pertumbuhan kebudayaan adhiluhung. Sebab fungsi dari nilai-nilai kebudayaan adalah kesejahteraaan dan kedamaiaan. Meminjam istilah Radhar Panca Dahana, kebudayaan adalah sejenis pembebasan dan ketentraman bagi manusia. Lalu lintas kehidupan warga akan sampai pada ruang  dimana relasi atar sesama manusia terjalin dengan baik. Kerukunan, keadaban, dan keberagamaan akan menjadi satu rangkaian utuh yang tidak bisa ditepis.
Revitalisasi Teluk Benoa adalah salah satu ikhtiar dalam rangka mendukung itu semua, termasuk kesejahteraan karena Teluk Benoa akan berimplikasi logis pada keteduhan dan kerukunan antar sesama warga di pulau Bali. Pada konteks ini, ketika ada yang menegaskan bahwa revitalisasi Teluk Benoa akan merusak ciri khas kebudayaan Bali, maka praksis hal itu tidak dapat dibenarkan. Bahkan tidak menutup kemungkinan, pernyataan tersebut sejenis bola liar untuk memprovokasi warga Bali agar tercerai berai. Sebuah provokasi yang akan menciptkan disilusi kebudayaan dan dehumanisasi secara simbolik.
C.A Van Peursen (1976) mengatakan bahwa sebuah kebudayaan adalah zona yang memuat dimensi imanensi dan transindensi. Keduanya dianggap sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seutuhnya. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi), tetapi juga selalu muncul dari arus alam raya itu untuk menilai alamnya sendiri dan berusaha untuk memperbaikinya (transendensi). Dalam konteks pembangunan revitalisasi Teluk Benua, tentu saja argumentasi Peursen menemukan relevansinya. Bahwa mentalitas dan strategi kebudayaan yang sesungguhnya adalah menciptakan kondisi lingkungan yang representatif. Sebuah kondisi dimana ada perhatian dan penghargaan yang besar bagi kehidupan ekologis. Termasuk kehidupan pantai dan hutan-hutan mangrove yang mulai ‘sakit’. Sehingga revitalisasi Teluk Benoa merupakan jalan lain dari jihad kebudayaan itu sendiri.
Entitas Kebudayaan tidak sebatas bagaimana ritual-ritual keagamaan dalam masyarakat Bali terus bergeming, dilakukan dari waktu ke waktu, tetapi kerusakan alam dan sejenisnya harus menjadi perhatian khusus dari kebudayaan sebagai sebuah instrumen. Jika kerusakan alam tidak diperhatikan apalagi agenda revitalisasi ditolak dengan suara-suara sumbang, maka peribadatan dan ritual-ritual sakral atas nama kebudayaan dan alam nyaris tidak ada artinya. Di sini, masyarakat yang berbudaya adalah masyarakat yang memiliki perhatian khusus pada kelangsungan ekologis, termasuk sebuh perbaikan atas kerusakan alam. Sehingga siapapun yang mendukung revitalisasi Teluk Benoa, adalah ciri-ciri dari masyarakat yang memiliki semangat kebudayaan yang tinggi.
Revitalisasi Teluk Benoa adalah upaya kembali untuk menghidupkan aksen-aksen mentalitas kebudayaan masyarakat Bali. Sebab dalam termenologi yang lebih luas, kebudayaan akan saling berjumpa dengan kebudayaan yang lain dan pada saat yang sama kebudayaan itu sendiri akan mengalami pergesekan internal. Sehingga memahami kebudayaan tidak cukup bersifat instrumental tetapi harus luwes dan dialogis. Harus bisa  menerima perbaikan perangkat dan kebudayaan selama itu tidak menghilangan nilai-nilai khas dari makna kebudayaan adhiluhung. Setidaknya dengan upaya revitalisasi Teluk Benoa masyarakat Bali dapat melakukan kerja-kerja kebudayaan dengan lebih baik, lebih bersih, lebih indah, dan lebih khusyuk. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, revitalisasi Teluk Benoa harus didukung penuh karena di sanalah nantinya akan dibangun ruang eksplorasi untuk sebuah pembangunan dan pelestarian kebudayaan secara berkelanjutan.
Sehingga nantinya  kebudayaan-kebudayaan yang hingga kini tetap lestari seperti tradisi mekotek, omed-omedan, perang pandan, gebug ende, subak, megibung, ngaben,dan lain sebagainya dengan adanya revitalisasi Teluk Benoa dapat digalakkan tidak saja sebagai sebuah ritual dari kebudayaan itu sendiri, tetapi dapat menjadi satu anasir  pertunjukan istimewa bagi wisatawan mancanegara. Sebab wisatawan akan merasa bahwa kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang inklusif. Di sanalah para pelancong tersebut dapat memanjakan dirinya dengan panorama Teluk Benoa yang indah.
Pada konteks ini, hakikat dari upaya mempertahankan kebudayaan adalah manusia dan alam raya saling meresapi, dan oleh karena itu kekuatan manusiawi dan ilahi juga akan saling melebur. Sehingga revitalisasi Teluk Benoa merupakan salah satu strategi kebudayaan untuk mencapai hakikat hidup dalam profan kebudayan yang sesungguhnya. Warga Bali tak perlu resah dan gelisah perihal provokasi penolakan Teluk Benoa yang mengatasnamakan kepentingan kebudayaan. Sebab provokasi tersebut tidak datang dari aspirasi warga Bali murni, tetapi dari kepentingan-kepentingan asing yang mencoba menggagalkan pembangunan revitalisasi Teluk Benoa.
Warga Bali harus satu suara untuk mendukung revitalisasi Teluk Benoa, sebab itulah salah satu starting point bagi upaya untuk memunculkan kebudayaan Bali dalam skala yang lebih luas, pada pos-pos yang lebih berharga dan terhormat. Di sini Teluk Benoa adalah tulang punggung dari kebudayaan Bali yang sebenarnya. Sebab dengan upaya revitalisasi, kebudayaan Bali akan menemukan satu titik terang berupa upaya memperbaiki problem ekologis yang menjadi penyakit mematikan bagi kebudayaan itu sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline