Jika kita mencoba kembali untuk membuka file-file lama tentang keberlangsungan ekosistem alam di bumi ini, maka hampir dapat dipastikan bahwa bencana alam yang terjadi secara terus menerus dapat ditengarai sebagai bagian dari ulah manusia. Surutnya Laut Aral di Uni Soviet, Tragedi Chernobyl di Ukraina, dan tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah beberapa tragedi mematikan yang tidak lekang dari ingatan. Dalam hitungan waktu, seakan-akan manusia bersikap acuh tak acuh terhadap alam. Ia melakukan pengrusakan dengan begitu ‘ganas’. Alam bagi manusia tak lebih sebagai objek yang tak bermakna, sebab kehadirannya nyaris tidak pernah diperhatikan, dan pada saat yang bersamaan tanpa kesadaran yang utuh, mereka terus menerus mengambil ‘mutiara’ di balik potensi alam yang melimpah.
Teluk Benoa, adalah beberapa contoh paling absah terkait fenomena ini. Kondisi alamnya yang tak menentu, diperparah dengan tumpukan sampah yang ‘membatu’ telah menciptkan kegetiran bagi ekosistem alam. Di sini penulis tidak hendak mengkaji Teluk Benoa dalam term dan diskursus ekologis, tetapi lebih pada aspek persoalan etika lingkungan. Etika lingkungan memotret dampak dan prilalu tidak etis manusia terhadap alamnya yang telah memberikan kehidupan. Meminjam istiah Musthafa dalam tulisannya “Malnutrisi Lingkungan’ bahwa prilaku manusia modern terhadap lingkungannya acapkali bersifat dilematisi etis.
Dalam konteks yang universal, dilematisasi etis, adalah mereka yang getol menyuarakan pengharapan dan pelestarian lingkungan yang dihembuskan dari bibir-ke bibir tetapi pada saat yang sama, etika yang mereka tanam, nyaris tidak berarti apapun. Sebab pada realitasnya justru mereka telah melakukan sikap-sikap yang bertentangan dengan kelangsungan lingkungan. Sehingga etika lingkungan hanya mengiang di atas menara gading, menjadi semacam gunung pasir di pinggir pantai. Getas dan terhempas.
Gagasan ini sejalan dengan apa yang terjadi pada Teluk Benoa, di tengah masyarakatnya yang ‘nakal’ (baca: menolak revitalisasi) dan merasa paling benar dalam membuat pernyataan tentang kelangsungan alam, justru mereka miskin tindakan dalam mempertahankan keindahan dan keseimbangan Teluk Benoa. Sampah, abrasi, dan sedimentasi, merupakan potret yang menjadi ‘tamparan’ menyakitkan bagi masyarakat itu sendiri. Etika lingkungan yang seharusnya menjadi nafas pertama dan utama, nyaris tidak pernah terinternalisasi dalam imajinasi kolektif masyarakat sekitar Teluk Benoa.
Biosentrisme Teluk Benoa
Dalam teori etika lingkungan, dikenal sebuah teori biosentrisme. Pada teori biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism). Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral Sehingga bukan hanya manusia dan binatang yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Dalam konteks inilah prilaku menyimpang masyarakat baik secara moral dan etika terhadap Teluk Benoa, merupakan spiral yang akan menciderai etika lingkungan. Tidak menghargai alam, merupakan kejahatan lingkungan yang paling berbahaya, sebab jika kerusakan lingkungan tidak diantisipasi sejak dini, maka sudah barang tentu, Teluk Benoa akan berada di titik nadir. Di titik dimana sebuah kelangsungan lingkungan yang asri tinggal menjadi sebuah harapan yang tak pasti. Pada tahap inilah revitalisasi menjadi kunci yang tidak bisa dielakkan, revitalisasi Teluk Benoa merupakan ikhtiar untuk mengembalikan fungsi lingkungan Teluk Benoa kepada fungsi yang semestinya.
Revitalisasi menjadi harga mati. Sebab di sanalah harapan hidup manusia, hutan mangrove, dan keasrian pantai dipertaruhkan. Revitalisasi Teluk Benoa secara etis menjadi penting dilakukan antara lain; Pertama, menyangkut kebaikan untuk semua. Kebaikan manusia bukanlah kebaikan artifisial dan primordial, tetapi lebih luas kebaikan untuk melindungi mahluk-mahluk hidup yang lain. Tumbuhan dan kekayaan alam yang terdapat di Teluk Benoa merupakan ekosistem yang harus dilindungi. Di sini revitalisasi Teluk Benoa yang dilakukan oleh pemerintah merupkan tindakan yang selaras dengan etika lingkungan yang sesungguhnya.
Kedua, kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia tergantung dari kualitas dan kelestarian lingkungan. Ada korelasi sejajar antara alam dan manusia. Dalam etika lingkungan, relasi ini adalah relasi ketergantungan. Manusia membutuhkan ekosistem alam sebagai mitra dan sumber kehidupan, begitupun sebaliknya. Dengan argumen ini, manusia mengembangkan sikap hormat terhadap ekosistem alam. Sehingga revitalisasi Teluk Benoa sebagai representasi dari usaha membangun keseimbangan ekosistem alam merupakan langkah signifikan dalam mendorong kualitas hidup manusia yang lebih baik.
Ketiga, dalam etika lingkungan, pada intinya manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam yang bersumber pada terciptanya sebuah kehidupan yang bermartabat, sekaligus berdasarkan pada pertimbangan bahwa, kehidupan adalah sesuatu yang bernilai. Etika ini didasarkan pada hubungan yang khas antara ekosistem alam dan manusia. Melindungi alam adalah melindungi nilai-nilai dan kearifan yang terkandung di dalamnya secara keseluruhan. Revitalisasi Teluk Benoa adalah bahasa lain tentang upaya perlindungan maksimal pada kehidupan alam.
Berangkat dari perspektif etika lingkungan ini, maka revitalisasi Teluk Benoa merupakan langkah pasti utuk menyelamatkan lingkungan yang mulai bermasalah karena sikap-sikap nir-etis manusia itu sendiri. Revitalisasi adalah sebuah gebrakan etis untuk menyelamatkan kerusakan lingkungan yang sudah kronis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H