" Karel Albert Rudolf Bosscha, adalah seorang Belanda dan Preanger planter (pengusaha perkebunan di kawasan Priangan) yang tajir melintir pada masanya. Tidak hanya mengurus bisnis, ia juga menaruh perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan, salah satunya astronomi."
" Dengan kekayaan serta jabatannya sebagai ketua NISV (Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda), Bosscha berjanji untuk membantu pendanaan bagi pembelian teropong yang sama canggihnya dengan teropong besar yang sudah terpasang di dunia saat itu."
Barangkali, narasi di atas sudah sering kita dengar ketika mengulik sejarah Observatorium Bosscha.
Bagaimana jika pada kesempatan kali ini, saya ajak rekan-rekan sekalian untuk menilik sejarah Observatorium Bosscha dari sisi yang lain?
Mengutip dari jurnal "Bangunan Rumah Teleskop di Kompleks Observatorium Bosscha" yang disusun oleh Iwan Hermawan (Balai Arkeologi Bandung), sang mutiara langit selatan ini ternyata memiliki kisah panjang yang dihiasi oleh kegigihan tak berbatas.
Sebelum menjadi observatorium yang dikenal masyarakat dan dunia, kawasan tersebut dulunya merupakan lahan peternakan sapi yang dikelola oleh kakak beradik Ursone, warga Bandung keturunan Italia. Kemudian, tanah seluas 6 Ha itu dihibahkan untuk pembangunan Observatorium Bosscha.
Pada tahun 1921, Bosscha bersama J. Voute, seorang astronom yang berdinas di Batavia, pergi ke Jerman untuk memesan Meridian Circle pada Askania Werke (perusahaan mekanik dan optik) dan Double Refractor pada Carl Zeiss Jena.
Setelah pesanan tersebut jadi, sebanyak 27 peti kemas dengan bobot total 30 ton diantar ke Indonesia menggunakan kapal m.s Kertosono, kapal kargo milik Koninklijke Rotterdamsche Lloyd (perusahaaan pelayaran Belanda). Pada tanggal 10 Januari 1928, m.s Kertosono merapat di Pelabuhan Tanjung Priok.
Peti-peti kemas tersebut kemudian diteruskan oleh Staatspoor (perusahaan kereta Hindia Belanda) menuju Stasiun Bandung. Sesampainya di Stasiun Bandung, Batalyon Zeni Angkatan Darat segera meneruskannya hingga Lembang.