Sedikit demi sedikit, dokumen berupa kertas mulai tersingkir, karena sekarang dunia beranjak menuju digitalisasi. Mulai dari bank yang beberapa transaksinya sudah dapat dilakukan sendiri oleh nasabah via aplikasi, yang tentunya tidak perlu menanda tangani kertas sebagai bukti perjanjian antara bank dan nasabah.
Minimarket yang mulai mengalihkan bukti pembayaran dari pelanggan ke aplikasi alias tidak dicetak ke kertas, pengajuan asuransi yang tidak lagi mengisi form dan membubuhkan tanda tangan diatas kertas, dst.
Bahkan beberapa perusahaan di luar negeri sudah sejak lama mengakui tanda tangan digital pada dokumen digital. Gajian tidak lagi menggunakan slip gaji berupa kertas, namun hanya ditransfer dan slip gajinya diberikan dalam bentuk dokumen digital. Tanda tangannya pun digital.
Lantas apakah ada catatan dan historinya? Tentu saja ada dan tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ada masa data-data tersebut boleh dihilangkan, tergantung kebijaksanaan yang berlaku.
Kalau zaman dulu, dokumen tertentu boleh dihancurkan setelah sekian tahun, maka data digital pun demikian. Bedanya, data digital mungkin bisa disimpan dalam waktu lebih lama karena teknik penyimpanannya tidak lagi seperti dulu yang membutuhkan gudang arsip untuk menyimpan arsip-arsip dokumen.
Saya sendiri pernah tidak sengaja berkunjung ke gudang arsip kependudukan di Bandung. Ruangan yang tergolong besar namun dipenuhi oleh rak-rak besar juga berisi arsip-arsip kependudukan sejak puluhan tahun lalu.
Terbayang "pertumbuhan" lemari arsip dan juga luas gedungnya jika tetap menggunakan metode kertas. Makin lama pasti membutuhkan tempat yang lebih luas dan luas lagi.
Sebenarnya penyimpanan data digital pun sama saja. Pada akhirnya, jika tidak ada data yang dihapus sementara pertumbuhan data terus berjalan, maka akan membutuhkan ukuran space yang terus meningkat.
Namun, data digital lebih mudah diarsipkan, serta biaya dan proses pengarsipannya juga lebih murah dan mudah. Selain itu data bisa di-compress atau diperkecil ukurannya tanpa merusak keaslian data.