"Justice delayed is justice denied." --- William E. Gladstone
"Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak."--- William E. Gladstone
Latar Belakang UU Cipta Kerja
Awalnya, Undang-Undang Cipta Kerja dirancang untuk memperbaiki iklim investasi dengan mempercepat proses perizinan dan menciptakan lapangan kerja. Namun, UU ini banyak dikritik oleh pekerja dan serikat buruh yang menganggap aturan ini mengabaikan hak-hak dasar mereka, seperti stabilitas kerja, upah layak, dan jaminan sosial.
Putusan Mahkamah Konstitusi 2024
Pada 31 Oktober 2024, MK mengabulkan beberapa gugatan terkait UU Cipta Kerja. Beberapa poin penting dari putusan tersebut adalah sebagai berikut:
Batas Maksimal PKWT: Mahkamah menetapkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya berlaku hingga maksimal lima tahun, termasuk perpanjangan. Aturan ini bertujuan memberikan kepastian lebih bagi pekerja kontrak agar tidak terjebak dalam status kerja berkepanjangan tanpa kejelasan.
Pembatasan Alih Daya (Outsourcing): Outsourcing kini hanya diperbolehkan untuk pekerjaan non-inti, seperti jasa kebersihan dan keamanan, memberikan perlindungan bagi pekerja di posisi inti. Hal ini mencegah perusahaan memanfaatkan outsourcing untuk posisi penting, yang bisa mengancam stabilitas kerja.
Kembalinya Skema Pesangon Lama: MK memutuskan bahwa perhitungan pesangon harus mengikuti aturan dalam UU Ketenagakerjaan 2003, yang dianggap lebih adil bagi pekerja. Keputusan ini memberi kepastian kepada pekerja mengenai hak pesangon yang lebih menguntungkan saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Durasi Kontrak yang Jelas: Semua kontrak kerja harus memiliki durasi yang jelas, tidak boleh lebih dari lima tahun. Tujuan dari aturan ini adalah memberikan kepastian jangka waktu bagi pekerja kontrak, sehingga mereka tidak merasa terus-menerus "menggantung."