Banyak aturan ternyata berubah di tangan tukang ketik. Kasus pasal rokok dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan 10 tahun silam (2009) adalah yang paling heboh. Delete pada menit akhir itu amat menentukan longgarnya tata aturan kelola rokok di tanah air.
Meskipun sudah menimbulkan satu goncangan yang menggemparkan, tidak banyak sistem yang disediakan untuk mengantisipasi celah ini. Seharusnya ada, karena norma hukum adalah soal diksi.
Kita tidak bisa salah menempatkan, menghapus, menambahkan kata. Contoh yang umum dalam hukum adalah kata dapat vs wajib/harus, kata dan vs dan/atau, syarat kumulatif vs syarat alternatif.
Belum ada yang melakukan studi seberapa jauh inisiatif tukang ketik membuat perbedaan pada draft aturan. Saya menduga sangat signifikan. Saya juga menduga, korban tukang ketik tidak hanya RUU Kesehatan, tetapi juga RUU-RUU lainnya. Rasionale atas dugaan ini terletak pada peluang di beberapa tahapan dalam pembahasan RUU yang amat mengandalkan tukang ketik.
Pertama, dalam debat perancangan undang-undang, memori perdebatan tergantung pada tukang ketik. Dialah orang yang paling awas ketika para perancang undang-undang berbicara dan berdebat.
Dia juga harus tetap melek ketika pembahasan berlangsung hingga dini hari. Manakala anggota dewan tertidur pulas di ruang sidang, tukang ketik sebaliknya. Telinganya harus terbuka dan mata melotot.
Pekerjaan ini tidak mudah, tetapi sering dianggap minor. Justru karena sepele, banyak yang tidak waspada. Akibatnya adalah kasus besar seperti pasal rokok.
Kedua, memori perdebatan dalam catatan sidang pada saatnya nanti akan menjadi dokumen yang demikian penting ketika undang-undang itu digugat di MK. Catatan itu juga amat penting ketika undang-undang itu ditindaklanjuti melalui pembentukan peraturan pelaksana maupun putusan pengadilan.
Tafsir atas makna pasal dalam Undang-undang itu membutuhkan dokumen historis yang memberi makna terhadap kata, tata bahasa, dan ujaran yang melatari suatu pasal. Karena itu, tukang ketik amat menentukan dalam siklus perancangan aturan hukum.
Ketika wabah korupsi melanda semua aspek kehidupan, acapkali hal-hal sepele justru menjadi pintu masuk untuk mengobral korupsi skala besar. Tengok saja KTP. Siapa yang menduga kartu sepotong itu yang seringkali disimpan umpel-umpelan dalam dompet lusuh, merangkai korupsi raksasa hingga triliunan rupiah.