Kemarin malam, berkesempatan mengantarkan istri belanja kebutuhan rumah tangga. Hari ini dia tampak lelah. Aku pikir wajar, sebab dia setiap hari pergi bekerja dari Malang menuju Pandaan. Namun, sebagai suami yang baik, aku berkewajiban bertanya mengenai keadaannya, "Kamu baik-baik saja, non? Dirimu nampak capek."
"Iya, aku capek tapi kali ini bukan hanya capek dengan pekerjaan, tetapi capek karena ada perasaan takut yang mendalam", jawabnya dengan cukup panjang lebar. "Apakah karena situasi saat ini? Penyebaran Covid-19", tanyaku lagi.
"Iya, mas. Aku tiap hari menuju Pandaan dengan ketakutan dan kecurigaan. Jangan-jangan rekan seperjalananku terkena Covid-19. Jujur, aku takut tertular", dia menjawab sembari meneteskan air mata, sesuatu yang jarang kulihat dari masa kami berpacaran sampai menikah. Aku bereaksi dengan memeluk dan menenangkannya.
Pertanyaannya apakah istriku satu-satunya? Yang pasti tidak. Cerita dari rekan sekantorku kurang lebih sama, bahkan dia sampai mengalami sakit karena khawatir dan takut karena pemberitaan yang begitu masif mengenai Covid 19. Seorang kawan yang bekerja sebagai wartawan, juga mengalami rasa taku yang mendalam, sebab ia harus turun ke lapangan untuk mencari berita.
Sejujurnya dia takut tertular, ingin periksa tetapi melihat antrian di tempat pemeriksaan dia semakin takut. Akhirnya, ia diburu rasa gelisah. Rasa takut dan tidak aman juga membuat banyak orang terdorong melakukan pembelian bahan kebutuhan pokok secara besar-besaran.
Jadi, benarlah cerita Antony De Mello dalam buku meditasi dengan cerita berjudul Doa sang Katak 2. Dalam bukunya De Mello menuliskan demikian,
Wabah sedang menuju ke Damaskus, dan melewati seorang kafilah di padang gurun.
"Mau mana kau wabah?" tanya kafilah.
"Mau ke Damaskus, mau merenggut 1000 nyawa".
Sekembalinya dari Damaskus, si wabah ketemu lagi sama kafilah itu, dan kafilah protes, "Hai wabah, kau merenggut 50.000 nyawa, bukan 1000 seperti katamu"
"Tidak", kata wabah, "Aku benar-benar mengambil 1000 nyawa, sisanya mati karena ketakutan"