Lihat ke Halaman Asli

“Senjata Makan” Buchtar Tabuni

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mencaci-maki Pemerintahan sendiri, bahkan menghina Kepala Negara menjadi hal yang lumrah ditemukan di Tanah Papua. Apakah ini adalah bagian dari perkembangan demokrasi yang semakin maju, atau demokrasi yang kebablasan?

Belum lama ini, sebuah media lokal yang terbit di Papua memberitakan aksi unjuk rasa yang dilakukan sekelompok aktivis yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB).  Aksi yang digelar dalam rangka Peringatan Hari HAM Se-dunia tanggal 10 Desember 2011 itu “dimanfaatkan” oleh Ketua KNPB Buchtar Tabuni untuk mengkampanyekan bahwa Presiden Republik Indonesia telah masuk dalam DPO  (Daftar Pencarian Orang) Amnesty Internasional  yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Presiden RI disebut-sebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas  ratusan kasus  kejahatan  dan pelanggaran HAM berat  selama sepuluh tahun  terakhir ini di    Tanah Papua. Dan karenanya, harus segera diadili di  Mahkamah HAM Internasional.

http://bintangpapua.com/headline/17753-minta-presiden-diadili-di-mahkamah-ham-

http://www.youtube.com/watch?v=4x3nGHQflA0&feature=youtu.be

Pernyataan Buchtar Tabuni itu kontan mendapat reaksi keras dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Anggota Komisi A DPRP dr. Yohanes Sumarto Rabu,14 Desember 2011 mendesak agar Buchtar Tabuni harus menyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Karena  pernyataan Buchtar Tabuni itu bisa dikategorikan sebagai bentuk penghinaan terhadap Kepala dan Lambang Negara Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 134 berbunyi : barang siapa yang dengan terbukti melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara dan Lambang Negara maka bisa dikenai sangsi pidana kurungan selama 6 Tahun.

Sumarto juga meminta agar saudara Buchtar Tabuni selaku Ketua Umum KNPB agar berhati-hati mengeluarkan statemen di depan umum, apalagi sampai membawa-bawa Kepala Negara Republik Indonesia. Kebenaran bahwa Mahkamah Internasional telah menjadikan Presiden SBY sebagai DPO, perlu dipastikan.

’Jangan sampai melakukan copy paste dari internet kemudian disampaikan hal itu didepan umum, tetapi buktikan sendiri dari Mahkamah Internasional, “tandas Sumarto.

http://www.papuapos.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6394:buchtar-tabuni-harus-minta-maaf-ke-sby-&catid=1:berita-utama

Benarkah Presiden SBY DPO Mahkamah Internasional?

Penasaran atas tudingan Buchtar Tabuni, saya berupaya mencari sejumlah referensi. Dan ternyata saya tidak menemukan satu fakta pun bahwa Mahkaham Internasional  ( International Court of Justice atau ICJ ) maupun Amnesty Internasional (yang berkedudukan di London) telah memasukan Presiden SBY sebagai DPO.

Timbul pertanyaan dalam benak saya, mengapa Buchtar Tabuni menyerukan hal itu? Ternyata benar bahwa Buchtar Tabuni hanya copy paste dari internet  sebagaimana dituduhkan Anggota DPRP Yohanes Sumarto. Buchtar memang tidak mengantongi bukti apapun dari Mahkamah Internasional, alias asal bunyi. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa KNPB yang dipimpin mantan Napi kasus makar yang baru bebas tanggal 1 Agustus 2011 ini adalah perpanjangan tangan dari Benny Wenda yang selama ini berjuang untuk kemerdekaan Papua di Inggris.

Apa yang dikampanyekan Buchtar Tabuni memang sejalan dengan apa yang dikampanye Benny Wenda di London. Tanggal 4 Desember 2011 Benny dan para pendukungnya yang tergabung dalam Free West Papua Campaign berdemonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di London, Inggris, sambil membentangkan gambar Presiden Indonesia sebagai DPO yang harus diadili oleh Pengadilan Kriminal Internasional (International Court of Crime).

http://www.freewestpapua.org/index.php/news/1777-photos-news-london-fwpc-raised-the-morning-star-flag-at-the-indonesian-embassy-in-london-2011

Kampanye ini memang sengaja dilakukan sebagai reaksi atas masuknya Benny Wenda  dalam Red Notice Interpol. Benny yang terkaget-kaget atas “predikat” barunya itu  sempat protes  kepada Interpol. Dalam wawancara dengan Radio Nederland yang dipublikasikan 29 November 2011, Benny dari London, Inggris, berujar lemas : Mestinya Interpol tidak memasukan nama saya.  “… Saya yang seharusnya taruh Interpol terhadap pemerintah Indonesia dalam hal ini presiden," demikian tudingan balik Benny Wenda.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/tetap-bersuara-kendati-dikejar-interpol?page=2

Dalam hitung-hitungan politis Benny, dengan visa jaminan pencari suaka yang telah ia kantongi dari pemerintahan Inggris, mestinya ia “aman” untuk melakukan apa saja di London. Tetapi rupanya pihak Interpol tidak peduli. Dan demi menjaga etika diplomasi internasional, Inggris yang menjadi salah satu Negara pendiri Interpol harus patuh pada komintmen yang sudah dibuatnya sendiri.

Maka pada 13 Desember 2011 melalui Dubes Kerajaan Ingris untuk Indonesia Mark Canning di hadapan Komisi I DPR RI secara tegas menyatakan bahwa tidak benar Pemerintahh Inggris mendukung kemerdekaan Papua. Inggris tidak ingin melukai hubungan bilateral dengan RI yang telah berjalan dengan baik selama ini.

http://www.detiknews.com/read/2011/12/14/093938/1790649/10/dubes-inggris-bantah-senatornya-dukung-kemerdekaan-papua

Pada hari yang sama Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Scot Marciel juga menegaskan komitmen negaranya mengenai Papua. Ia mengatakan AS tidak mendukung gerakan separatis. “Pemerintah AS tidak mendukung gerakan separatis dan tetap pada sikap mendukung kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah Indonesia,” ucap Scot Marciel di kediamannya di Jakarta, Selasa (13/12/2011). https://zonadamai.wordpress.com/2011/12/13/dubes-as-tolak-separatis-papua/

Benny Menyiapkan “Lubang” bagi Buchtar

Kendati Buchtar Tabuni hanya “mengulang kembali” isi kampanye Benny Wenda di London, namun hal itu sama saja “memasuki lubang” yang telah disiapkan oleh Benny Wenda. Benny masih bisa berlindung di balik system hukum Inggris. Sementera bagi Buchtar, dengan tuduhan pelanggaran Pasal 134 KUHP, ia tinggal menghitung hari, kapan kembali ke Lapas yang baru ditinggalkannya lima bulan lalu.

Salah satu cara paling bermartabat untuk mengatasi persoalan separatisme di Papua adalah melalui penegakan hukum secara konsekuen dan adil. Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut sang “Presiden Republik Demokratik Papua Barat” hasil KRP III itu sudah lebih dulu menjalani proses hukum. Buchtar Tabuni dipastikan akan segera menyusul. Begitupun Benny Wenda. Dengan status barunya sebagai buronan Interpol, Benny akan mengikuti mantan buronan Interpol lainnya yang sudah “dipulangkan” ke Tanah Air selama tahun 2011 ini, yaitu Nunun Nurbaeti dan Nazaruddin. Aparat hukum telah menyiapkan sejumlah pasal buat Benny. Merujuk Laporan hasil penyelidikan KPP HAM Papua/Irian Jaya tanggal 8 Mei 2001, Benny Wenda terlibat dalam insiden berdarah tanggal 7 Desember 2000, yaitu Penyerangan Mapolsek Abepura yang menyebabkan Brigpol Petrus Epaa tewas, Pembakaran Ruko di Lingkaran Abepura dan Pembunuhan anggota Satpam di Kantor Dinas Otonom Tk. I Propinsi Irian Jaya, di Kotaraja, Jayapura.

Dengan penegakan hukum tersebut, tidak banyak lagi pilihan bagi para “pejuang” Papua Merdeka. Apakah mereka akan terus seenaknya mencaci-maki Pemerintahan sendiri, atau ikut fokus bersama Pemerintah “memerdekakan” Papua dariberbagai ketertinggalan. Pilihannya ada di tangan Anda….!!! Salam Damai Natal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline