[caption id="attachment_329963" align="aligncenter" width="506" caption="Tarian Mandei dalam Festival Danau Sentani-4 (kominfo.go.id)"][/caption]
SUDAH tak asing lagi kita mendengar Festival Danau Sentani (FDS). Pesta rakyat tahunan ini baru dimulai tahun 2007 lalu, namun ketenarannya hampir menyamai Festival Lembah Baliem yang sudah jauh lebih dahulu eksis. Salah satu faktor yang membuat FDS cepat terkenal adalah lokasi penyelenggaraannya yang begitu mudah dijangkau. Bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki begitu Anda mendarat di Bandara Sentani. Tepatnya di bibir pantai wisata Khalkote, Sentani yang letaknya tak jauh dari pintu keluar bandara.
[caption id="attachment_329964" align="aligncenter" width="583" caption="Lokasi Festival tak jauh dari Bandara Sentani.Tampak hamparan Danau Sentani melingkari kaki bukit (dok. pribadi)"]
[/caption]
Berbeda dengan Festival Lembah Baliem yang menampilkan berbagai kekhasan budaya masyarakat pegunungan Papua,FDS sangat kental dengan budaya pesisir. FDS tahun ini digelar selama 5 hari, dibuka oleh Menkokesra Agung Laksono pada Kamis 19 Juni 2014. Ada sejumlah pergelaran di hari pertama FDS, seperti melukis di atas kulit kayu, membuat gerabah terbesar, tarian Isosolo atau menari di atas perahu. Ribuan warga ikut memeriahkan agenda wisata tahunan ini. Mereka datang dari berbagai kampung dan distrik memadati lokasi bibir Pantai Khalkote, Sentani. Puluhan stan pameran dan berbagai warung tampak tertata rapi di sepanjang jalan masuk ke area festival, menyediakan berbagai kuliner khas Papua.
[caption id="attachment_329965" align="aligncenter" width="446" caption="Menkokesra Agung Laksono memasuki areal festival (dok. pribadi)"]
[/caption]
Secara kasat mata para wisatawan yang pernah menyaksikan Festival Lembah Baliem bisa melihat perbedaannya dengan festival masyarakat pesisir ini.Misalnya pada pakaian dan atribut yang dikenakan para penari. Wisatawan yang ingin menyaksikan atraksi keperkasaan perang suku tentu akan kecewa karena memang tidak ada dalam budaya masyarakat pesisir. Demikian pun budaya bakar batu. Atraksi budaya yang bisa disaksikan di tempat ini antara lain Isosolo, lomba perahu hias, karnaval perahu, upacara adat penobatan Ondoafi, menyelam sambil merokok agar badan tetap hangat dan masih banyak lagi atraksi lainnya.
[caption id="attachment_329966" align="aligncenter" width="524" caption="salah satu atraksi budaya FDS (dok. pribadi)"]
[/caption]
Selain dari APBD kabupaten setempat, sumber pembiayaan FDS kali ini juga didanai secara swadaya oleh komunitas suku-suku dan paguyuban (termasuk paguyuban warga pendatang) yang ada di wilayah Kabupaten/kota Jayapura.Bahkan paguyuban wargapendatang dilibatkan sebagai panitia, dan ikut pula menyuguhkan atraksi budaya asal mereka.
Hal itu sejalan dengan tema FDS tahun ini “Budayaku Hidupku” yang mengandung sebuah suatu harapan untuk menajamkan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya. Tujuan penyelenggaraan FDS tahun ini, yakni ingin memelihara persatuan dan kesatuan di antara sesama suku, ras, dan agama. Nasionalisme yang sangat kental terjalin di antara sesama, mengingat di Papua terdiri dari ratusan suku-suku kecil yang terkadang gampang bentrok.
[caption id="attachment_329967" align="aligncenter" width="431" caption="Menkokesra ikut melukis di atas kanvas dari kulit kayu sepanjang 100 meter (dok. pribadi)"]
[/caption]
Yang menarik, FDS kali ini juga menyuguhkan kreativitas yang memecahkan rekor MURI, yaitu melukis di atas kanvas dari kulit kayu sepanjang 100 meter dan pembuatan Papeda (makanan khas Papua) terbesar. Sempe atau tempat pembuatan Papeda terbuat dari tanah liat yang ada di pesisir Danau Sentani dengan ukuran keliling 3,2 meter, tinggi setengah meter dan diameter satu meter.