Lihat ke Halaman Asli

Menjaga Kebhinnekaan dan Peranan Pancasila

Diperbarui: 6 Desember 2016   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Negeri Ini dibangun diatas pondasi keberagaman yang mempersatukan. Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan yang mempertegas bahwa perbedaan agama,suku,ras,antargolongan itu saling menguatkan. Namun, akhir-akhir ini terdapat penyerangan beberapa kelompok dengan mengatasnamakan suku, golongan bahkan agama. Menjaga Bhinneka bukanlah hal yang mudah, namun pening penting untuk merawat persatuan Indonesia. Ketika ada upaya memecah persatuan, mampukah masyarakat tetap tenang dan tak terprovokasi? Sudahkah masyarakat Indonesia dewasa untuk merawat dan membangun negara yang bhinneka?

Serangan teror bom terjadi di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Pada Minggu,13 November 2016. Presiden Jokowi yang mendengar kabar tentang peristiwa pengeboman di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kota Samarinda itu langsung memerintahkan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk mengusut secara tuntas mengenai pelaku pengeboman tersebut (13/11/2016).

Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan tersangka dalam kasus ledakan bom molotov di depan Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur merupakan pengikut atau berbaiat (sudah menyatakan ikut) kepada  Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Hal itu diketahui dari sejumlah barang bukti yang ditemukan. “Iya mereka termasuk kelompok yang berbaiat (menyatakan ikut) kepada ISIS. Dengan dokumen yang ada, barang bukti yang ada, mereka dapat dikategorikan,” ujar Boy di Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Minggu (20/11/2016).

Dalam hal ini terorisme yang tergabung dalam ISIS yang telah mengebom Gereja Oikumene tersebut bukanlah tindakan umat beragama, ISIS hanya menggunakan agama sebagai tamengnya. Seseorang kerap kali menyangkutpautkan terorisme dengan agama, padahal terorisme yang melakukan pengeboman dengan menggunakan agama sebagai tamengnya bukanlah tindakan umat beragama dan jelas sekali kalau mereka tidak memahami betul tentang ajaran agama, karena setiap agama mengajarkan hal yang baik dan tidak ada agama yang mengajarkan untuk membunuh sesamanya. 

Seseorang dinilai baik/buruknya itu tergantung dari tingkah laku atau perilakunya bukan dari agamanya, karena semua agama mengajarkan hal yang baik. Dalam peristiwa pengeboman oleh terorisme tersebut masyarakat haruslah pintar untuk tidak terpancing dan terprovokasi oleh aksi kekerasan tersebut, karena umat beragama tidak mungkin melakukan kekerasan apalagi sampai kepembunuhan. Terorisme hanya datang untuk menghancurkan keuntuhan NKRI. 

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan penyerangan bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda, bukanlah tindakan umat beragama. “Tindakan seperti itu sama sekali bukanlah tindakan umat beragama. Tidak ada satupun agama yang mentolerir tindakan kekerasan seperti itu, apalagi itu dilakukan kepada Rumah Ibadah. Rumah Ibadah itu wajib kita jaga bersama,”Kata Luqman melalui laman resmi Kementrian Agama, Senin (14/11/2016). Dalam hal ini masyarakat tentunya harus menanamkan nilai pancasila dan mengaplikasikan nilai pancasila tersebut ke dalam diri mereka, dengan begitu masyarakat semakin pintar untuk tidak terpengaruh atau terhasut oleh kekerasan tersebut yaitu ISIS.

Peranan Pancasila

Pasca ledakan bom oleh teroris pada Minggu (13/11/2016) lalu, Gereja Oikumene diberi police line dan tidak boleh di dekati warga untuk proses pemeriksaan oleh Tim Labfor Polri dari Jawa Timur. Wapres Jusuf Kalla yang mendengar kabar pengeboman di Samarinda tersebut mengatakan prihatin atas jatuhnya korban jiwa pada peristiwa teror bom di Samarinda. Kalla mengatakan aksi teror itu menunjukkan aksi terorisme cukup banyak di masyarakat. “Ini juga sekali lagi memberikan kita suatu warning, radikalisme, terorisme masih ada disekitar kita yang cukup banyak,”Kata Kalla, di kantor Wapres, Jakarta, Senin, 14 November 2016. 

Kalla mengatakan menekan radikalisme dapat dilakukan dengan berbagai upaya, di antaranya melalui pendidikan dan upaya sosial lainnya. Selain itu, pendekatan dari segi kemanan juga terus dilakukan pemerintah. Pendidikan yang sesuai untuk menekan radikalisme adalah pendidikan Pancasila, karena Pancasila merupakan pedoman hidup di Indonesia yang mengandung nilai-nilai luhur budaya Indonesia. 

Dalam Pancasila tersebut terdapat nilai dan tujuan tertentu. Tujuan dari sila Pancasila sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yaitu “menciptakan masyarakat yang adil dan makmur”. Sila pertama pancasila mengandung hakikat nilai “Menghormati perbedaan Agama untuk hidup rukun” contohnya toleransi beragama, selanjutnya sila ketiga mempunyai hakikat nilai “Mengakui Kebhinnekatunggalikaan,” Dalam hal ini toleransi beragama erat kaitannya dengan menciptakan persatuan Indonesia yang kebhinekaan.

Pasca ledakan bom di Gereja Oikumene, Kota Samarinda tersebut warga muslim dan TNI berpartisipasi untuk membersihkan sisa ledakan bom molotov, membersihkan lantai, hingga mengecat dinding yang terkena dampak ledakan, serta merapikan kursi dalam gereja (Gusti Nara). Dari kegiatan yang dilakukan warga Muslim tersebut menunjukkan bahwa warga menanamkan nilai-nilai pancasila dan mengaplikasikan dalam kehidupan mereka. Sila pancasila yang menggambarkan aktivitas warga muslim membantu membenahi gereja adalah sila pertama dan sila ketiga, sila pertama mempunyai hakikat nilai yaitu “mengakui/menghormati pemeluk agama lain agar teciptanya kerukunan umat beragama” contoh penerapannya adalah toleransi dan saling membantu walaupun berbeda agama. Kegiatan yang dilakukan warga muslim ini dapat memperkokoh persatuan Indonesia yang kebhinnekatunggalikaan yang terkandung pada hakikat nilai sila ketiga. Ini menunjukkan ada keterkaitan antara sila  pertama dan sila ketiga. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline