Dari titik sekecil ini jika dilihat dari peta dunia, tempatku berdiri adalah sebuah tempat yang terbilang sepi namun penuh dengan cerita yang membolak balik hati. Tempatku berdiri adalah sebuah desa dimana beberapa rumah ditumbuhi banyak pepohonan kelapa. Sawah padi dan jagung di kanan kiri jalan. Sungai irigasi yang mengalir tenang. Dan gambaran gunung yang terkadang tampak memudar tertutup awan di kejauhan.
Pada sore hari, sesekali tampak orang berlalu lalang dengan sepeda tua. Anak-anak pondok pesantren pulang mengaji dan masih mengenakan mukena. Senja menari mengucapkan salam perpisahan pada tanaman-tanaman kubis yang mulai menua di tegalan sawah. Pada malam hari, desa ini menjadi sangat sunyi. Jalanan gelap. Lampu penerangan jalan hanya bisa dihitung dengan jari. Yang mendominasi mulai pukul enam petang adalah suara kodok dan jangkrik yang saling beradu. Suara adzan dan orang-orang mengaji melalui pengeras suara surau-surau di seluruh penjuru desa. Suara kereta yang tiba-tiba terdengar jelas terbawa angin sampai kesini.
Sementara ditengah bisingnya komponen-komponen suara tadi, aku dan juga bagian-bagian terkecil dalam tubuh ini juga beradu bising. Hati dan kepala mendominasi. Konsonan vokal. Deret angka ganjil genap. Pepatah, peribahasa. Kutipan-kutipan ayat. Pembelaan, pembenaran. Umpatan, air mata. Sementara suara-suara organ dalam perut hanya akan berpartisipasi jika mereka berdua telah kelelahan berkelahi. Huff..
Ada yang bilang bahwa setiap molekul air memiliki pola yang berbeda jika mendapat perlakuan yang berbeda pula. Aku tak yakin. Jika diteropong menggunakan mikroskop nano, bagaimana bentuk molekul air dalam tubuhku. Dalam air mataku. Mungkin jika aku seorang putri duyung, menangis akan menjadi sebuah mata pencaharian yang layak diperhitungkan. Seperti dalam drama korea the Legend of the Blue Sea, dimana tetes-tetes air mata Sim Chung dapat berubah menjadi mutiara-mutiara. Kenyataanya, aku hanya manusia biasa.
Manusia yang merasa terjebak pada raga yang terbatas untuk melakukan sesuatu di luar nalar. Misalnya, jika aku ingin melupakan setiap permasalahan, aku akan memilih terbang bersama kawanan burung dan menghilang bersama senja. Aku adalah manusia yang juga terjebak pada pandangan sempit yang kubuat sendiri. Bahwa menjadi benar adalah harus disukai banyak orang. Itu membuatku sakit. Melihat orang-orang yang dengan mudahnya minta maaf setelah mengatakan hal buruk tentangku. Didepanku. Didepan banyak orang. Verbal bullying. Siapa yang sakit?
Hal ini terjadi berulang kali.
Salah. Minta maaf. Salah. Minta maaf. Khilaf. Mohon maaf lahir batin. Begitu seterusnya. Sampai gumpalan daging yang disebut 'hati' ini ibaratkan sebuah 'dendeng sapi' yang mengeras. Lalu melunak jika disiram air hangat. Disiram ratusan istighfar. Ratusan doa.
Menit berganti. Jam berlalu. Hari melangkah maju. Namun verbal bullying, body shaming, atau apapun bentuk diskrimasi yang menydutkan masih terjadi. Sebanyak apapun kampanye anti bullying, di sekolah, di perkantoran, di institusi, lembaga bahkan sekecil keluarga, masih terjadi. Pelakunya bisa jadi adalah orang-orang terdekat. Ornag-orang dengan ikatan emosi yang baik. Saking baiknya terkadang melampui batas candaan. Berulang-ulang. Membekas. Lalu membentuk sayatan. Semakin dekat hubungan, semakin dalam luka gores itu.
Sayangnya, orang-orang ini belum memahami akibatnya. Dampak psikis yang muncul. Dalam hitungan jam. Hari. Bulan. Bertahun-tahun. Berapa banyak sel dalam otak yang mati. Hati yang menyalahkan diri sendiri. Bahkan mungkin, orang-orang yang pengalaman mendapat bullying akan menjadi pelaku bully berikutnya. Membentu lingkaran setan. Tak berujung. Yang memakan korban. Nyawa.
Dari desa sekecil ini aku jadi menyadari.
Untuk menjadi benar, tidak butuh banyak orang yang menyukai. Untuk menjadi tenang, tak harus menjadi pembenci. Aku telah memaafkan diriku. Aku telah memaafkan mulut-mulut yang mereka sebut bercanda itu.