Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, sebuah realitas mengkhawatirkan mulai menggerogoti fondasi komunikasi keluarga. Riset terkini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak selamanya membawa dampak positif terhadap hubungan antara anggota keluarga.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2021, rata-rata individu menghabiskan lebih dari 4 jam sehari menggunakan perangkat digital. Angka ini mengalami peningkatan signifikan sebesar 35% dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Fakta ini menggambarkan bagaimana teknologi digital secara perlahan namun pasti telah menggeser momen-momen komunikasi langsung dalam keluarga. Dan juga survei nasional yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa 68% remaja Indonesia lebih memilih berkomunikasi melalui media sosial daripada berbincang secara langsung dengan anggota keluarga. Fenomena ini menciptakan jurang komunikasi yang semakin melebar, di mana interaksi tatap muka digantikan oleh percakapan digital yang dingin dan impersonal.
Sepertinya dampak paling nyata terlihat pada hubungan antargenerasi. Orang tua semakin sulit berkomunikasi dengan anak-anak mereka yang tenggelam dalam dunia maya. Smartphone dan media sosial telah menciptakan tembok tak terlihat yang memisahkan anggota keluarga, meskipun mereka berada dalam satu atap yang sama. Tidak jarang kita melihat keluarga berkumpul, namun masing-masing anggota sibuk dengan gawai pribadinya sendiri.
Menurut saya Ironisnya, di era yang diklaim sebagai zaman keterhubungan, kita justru semakin terisolasi. Media sosial yang seharusnya mendekatkan, nyatanya semakin menjauhkan. Anak-anak lebih memilih berbicara dengan teman virtual daripada berbagi cerita dengan orangtua. Orangtua pun kerap kali lebih fokus pada pekerjaan dan gawai dibandingkan meluangkan waktu berkualitas dengan keluarga.
Namun, bukan berarti teknologi adalah musuh. Masalahnya terletak pada cara kita menggunakan dan memaknai teknologi. Dibutuhkan kesadaran bersama untuk menciptakan batasan yang sehat dalam penggunaan perangkat digital. Keluarga perlu mengembangkan kesepakatan tentang waktu bebas gawai, menciptakan ruang-ruang komunikasi tanpa gangguan teknologi. Dalam dekapan layar digital, keluarga modern perlahan kehilangan esensi komunikasi yang sesungguhnya. Teknologi yang semula dirancang untuk mendekatkan, kini justru menciptakan jarak tak terlihat antaranggota keluarga.
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara terparah dalam krisis komunikasi keluarga. Survei membuktikan 72% remaja lebih memilih berkomunikasi melalui pesan instan dibandingkan berbicara langsung dengan orangtua. Orangtua pun tak jarang lebih fokus pada pekerjaan dan gawai dibandingkan meluangkan waktu berkualitas dengan anak-anak mereka. Namun, persoalan ini bukan sekadar tentang teknologi. Ia adalah refleksi perubahan fundamental dalam struktur sosial dan cara kita memahami hubungan kemanusiaan. Teknologi bukanlah musuh, melainkan cermin yang memantulkan pilihan-pilihan kita dalam berkomunikasi.
Saya beranggapan solusinya tidak sederhana. Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk mengembalikan komunikasi yang autentik. Bukan sekadar membatasi penggunaan gawai, melainkan menciptakan ruang-ruang bermakna di mana setiap anggota keluarga dapat saling mendengar, memahami, dan merasakan kehadiran satu sama lain. Keluarga masa kini dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menjadikan teknologi sebagai jembatan, bukan jurang pemisah. Caranya adalah dengan mendefinisikan ulang komunikasi. Menciptakan momen-momen tanpa gangguan digital, mendengarkan dengan sepenuh hati, dan menghargai kehadiran sejati.
Saatnya kita memilih. Saatnya kita menyadari bahwa di balik layar yang berkilau, ada manusia-manusia yang merindukan koneksi sejati, pelukan hangat, dan percakapan yang melampaui sekadar huruf dan gambar. Komunikasi adalah nyawa keluarga jangan biarkan teknologi mencabiknya perlahan.
Mungkin ada strategi sederhana dapat kita diterapkan. Misalnya, menetapkan jam makan bersama tanpa gawai, melakukan aktivitas bersama di luar rumah, atau sekadar berbincang tanpa gangguan notifikasi. Komunikasi yang autentik tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun. Ke depan, tantangan terbesar kita adalah bagaimana menjadikan teknologi sebagai alat pemersatu, bukan pemisah. Kita harus mampu mengembalikan esensi komunikasi keluarga yang hangat, mendalam, dan bermakna. Teknologi seharusnya melengkapi, bukan menggantikan hubungan kemanusiaan yang paling fundamental ini.
Kita harus ingat bahwa Komunikasi adalah nyawa keluarga jangan biarkan teknologi mencabiknya perlahan karana dengan komunikasi kita dapat saling terhubung satu sama lain dengan berkumunikasi secaraa lansung kita dapat meningkatakan hubungan sesama keluarga karana dengan komunikasi juga dapat membuat hubungan antara orang tua dengan anaknya dan juga anak kepada orangb tuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H