Lihat ke Halaman Asli

Laralova (6)

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tahu Lebih Dalam

Symphonie….

Und jetzt wird es still um uns

Kupaksakan mataku terbuka. Nggak tahu kenapa pagi ini kepalaku berat banget. Waktu membuka mata semua terasa berputar. Tanganku menggapai-gapai mencari hape-ku, bekas hape Armand, yang entah nyelip di mana. Tanganku berhenti di bawah bantalku sendiri. Rupanya itu hape sembunyi di situ.

“Halo…,” ucapku lemah.

“Halo! Bell! Lo nggak dateng-dateng sih. Sejam lagi pengumuman lho!”

Ya, siapa lagi yang cablak teriak-teriak kalau bukan Nayla. Aku ingat kok hari ini pengumuman kelulusan. Tapi sumpah, kepalaku nggak bisa kompromi. Masa di kamar sendiri semua terasa berputar kayak gasing?

“Sorry, Nay…. Kayaknya gue nggak bisa ke sekolah deh.”

“Lho, kenapa? Ini hari penting!” protes Nayla.

“Seandainya bisa, beneran deh gue berangkat. Tapi ini…. gue berasa mau pingsan mulu,” sahutku sambil memijat kening beberapa kali.

“Lo sakit? Lo diapain Armand?!”

“Issh…. Ngaco lo. Apa hubungannya coba?!”

Nayla cekikikan di sana. “Terus gimana nih?”

“Ya gue minta tolong sama lo, bilangin sama Pak Thamrin kalau siswa bulenya ini sakit. Eh, Pak Thamrin kan yang ngasih pengumuman?”

“Iya. Ya udah kalau gitu. Entar gue sampaikan. Moga aja percaya tuh Bapak. GWS, ya Bell.”

“Makasih, Nay.”

“Cepetan minum obat!”

“Iya….”

“Entar gue kabarin lo lulus atau enggak. Hahaha….”

“Iya, iya…. Bawel amat sih,” gerutuku.

“Hahaha, ya udah. Aku tutup dulu. Bubye…. Muach!”

“Bye….”

Kuletakkan hape sembarangan di atas tempat tidurku. Mencoba bangkit tapi beneran nggak bisa. Kadang terasa ada kelap-kelip bintang di atas kepalaku. Jadi aku memutuskan buat baring lagi aja.

Oh iya, ini sudah beberapa minggu lewat sejak peristiwa Armand beraksi seperti Hitler yang diktator. Beberapa minggu sejak ujianku selesai dengan lancar. Beberapa minggu sejak Armand mencium bibirku dan Bianca yang bengong. Kayaknya sih Bianca sudah menangkap basah kami. Cuma dia nggak menyinggung apa-apa waktu aku memutuskan nggak jadi nginap di rumah lawasku itu.

Terus gimana selanjutnya setelah peristiwa itu? Jadian? Enggak! Aku malah banyak menghindar dari Armand. Semisal kalau makan bersama, aku banyak diam. Cus…. Langsung pamit masuk ke kamar. Kalau disuruh ngumpul di ruang tamu aku lebih banyak nyari alasan supaya nggak ikut nongkrong. Waktu pergi sekolah juga aku memilih naik taksi, soalnya mobil Yarisku sendiri belum boleh dipakai karena aku belum genap tujuh belas. Semua itu aku lakukan bukan karena aku marah sama dia. Tapi aku malu! Nggak berani deh lama-lama ada dia. Entar jebol pertahanan hatiku. Eaaaa….

Nayla sendiri nggak pernah kuceritakan semua itu. Tapi dia ngaku, kalau dialah yang ngasih tahu Armand bahwa aku ada di rumah lamaku. Dasar, cablak! Waktu dia tanya gimana acara penjemputan dari Armand, aku hanya bilang kalau aku akhirnya mau pulang karena sungkan sama Om Adolf dan Tante Valeria. Hihihi…. Bohong banget!

Tok…. Tok…. Tok….

“Masuk.”

Pintu kamarku terbuka dan kulihat Tante Valeria masuk ke kamarku dengan senyum cantiknya.

“Guten Morgen, sayang,” sapa Tante Valeria sambil mendekati tempat tidurku.

Guten Morgen, Tante,” sahutku.

Beberapa lama di sini, aku sudah bisa bahasa Jerman lho! Dikit-dikit sih, tapi kan lama-lama jadi bukit. Ya, karena kebiasaan di rumah ini yang kadang-kadang pake bahasa Jerman, otomatis aku yang sering dengerin jadi terbiasa dan nyoba ngucapinnya. Kalau ada yang nanya, kenapa nggak dari dulu aja belajar bahasa Jerman waktu Papah masih ada, jawabannya Papahku nggak pernah pake bahasa itu di rumah! Bahasa Indonesia melulu, jadi aku nggak pernah berkesempatan belajar bahasa Jerman.

“Wie geht es Dir?” tanya Tante Valeria lagi yang sekarang sudah ada di dekatku.

Aku mencoba bangkit dari tidurku dan duduk. Ugh, beneran deh, seluruh ruangan berputar. Tapi kupaksakan untuk duduk karena sungkan sama Tante Valeria.

“Danke, Tante. Mir geht es nicht gut,” kataku memegang kepala.

Tante Valeria terbelalak. Tangannya terangkat dan menyentuh jidatku lalu menggelengkan kepala. Dia memandangku dengan serius.

“Pantas kamu pucat. Badanmu panas sekali. Kamu demam, Isabell. Tante panggilkan dokter ya?”

Refleks aku geleng kepala. Nggak mau ketemu dokter! Aku anti sama dokter. Secara aku tuh takut sama jarum suntik. Entar kalau disuntik gimana? Bisa-bisa aku pingsan. Kalau bisa dikasih obat penurun panas aja palingan juga sembuh.

“Kenapa? Kamu tidak mau?” ucap Tante Valeria setelah aku menggelengkan kepala.

“Minum obat aja deh, Tante. Saya nggak mau bikin repot,” jawabku.

“Tapi panas badanmu tinggi sekali.”

Sekali lagi aku menggeleng. “Enggak mau, Tante.”

Tante Valeria terdiam sejenak. Aku juga ikut-ikutan diam. Walaupun ada pertanyaan di benakku, tumben-tumbennya Tante Valeria datang ke kamarku? Lagi inspeksi mendadak kali ya? Ini kan rumahnya, kali aja takut aku berbuat hal negatif.

“Hei! Hari ini pengumuman kelulusan! Bagaimana ini? Siapa yang akan mengambilkan surat dari sekolah? Oh, mengapa aku lupa. Maafkan Tante, Isabell.”

Aduh, Tante Valeria mulai deh lebaynya. Mau nggak mau aku mengulum senyum ngeliat reaksinya itu.

“Tante nggak usah khawatir, tadi udah pesan kok sama si Nayla, temen Isabell.”

Aku sudah bilang begitu lho. Tapi raut wajah Tante Valeria masih kebingungan. Kayaknya emang ada hal serius deh. Semoga nggak menyangkut perusahaan. Takut juga sih kalau perusahaan kenapa-kenapa kan entar aku yang kena imbasnya.

“Ada apa sih, Tante?” aku beranikan diri buat nanya daripada penasaran.

Tante Valeria melempar senyum padaku, tapi masih terbaca kalau itu senyum dipaksakan. Aku raih tangan kanannya dan kugenggam erat.

“Ada masalah, Tante?”

Tante Valeria menggeleng. “Masalahnya ada padamu.”

Aku terkesiap. Lho, kok aku? Jangan-jangan mereka sekarang berpikir aku itu tuh cuma beban hidup mereka aja. Jangan-jangan aku disuruh balik ke rumah lamaku. Jangan-jangan perusahaan sudah diambil alih semua. Mikir begitu negatif bikin aku merenggangkan genggaman tanganku.

“Apa aku harus pergi dari sini, Tante?” tanyaku polos.

Tante terbelalak. “Bukan! Bukan itu, sayang. Cuma hari ini kami harus ke Singapore dan akan kembali lusa. Tapi keadaanmu…. Tante khawatir.”

Sekarang gantian aku yang melotot. Aku ditinggal sendirian dalam keadaan sakit? Aku nggak diajak? Oh, tidak! Ini kejam! Kalau aku mati nggak ada yang ngurusin dong! Mayatnya sampe bau dong! Aih, sudahlah Isabell. Masa ikut-ikutan lebay? Di sini kan pengurusnya banyak.

“Singapore, Tante?” aku diam sebentar lalu menatap mata Tante Valeria. “Enggak apa-apa kalau ditinggal sendirian.”

Enggak apa-apa tapi kayaknya air mukaku menunjukkan rasa kecewa. Siapa sih yang nggak pengen diajak ke negera itu? Tapi badanku…. Ooh, kenapa si sakit datangnya sekarang sih?

Tangan Tante Valeria mengusap-usap rambutku. Di sini aku bisa merasakan kasih sayangnya yang tulus. Aku jadi ragu dengan opini pikiranku dulu waktu mau pindah ke sini, bahwa keluarga Weber pura-pura baik biar perusahaan jatuh ke tangan mereka semua. Ini sudah beberapa bulan aku tinggal di sini dan nggak ada tanda-tanda negatif. Malah aku yang tersihir sama Armand waktu itu. Mikir begitu, aku jadi senyum-senyum sendiri.

“Kata siapa kamu sendirian? Armand tidak ikut. Dia yang akan mengambil alih semua urusan perusahaan saat Om dan Tante pergi.”

Jeddeerr! Skakmat! Selamat! Kamu bakal hidup berdua sama Armand selama tiga hari, Isabell! Sama orang yang jarang kamu ajak ngomong capciscus lagi sejak kejadian itu!

Aku jadi bergidik takut. Mikirnya, Armand entar ngapa-ngapain aku gimana? Secara waktu itu main nyosor aja. Secara dia bule tinggal di negara yang bebas berekspresi apapun. Secara…. Aduh, gimana ini? Beneran negative thinking gue!

“Isabell, ada apa?”

“Oh…. Eh, nggak apa-apa, Tante. Cuma mikir, gimana kalau saya ke rumah lama saya aja dulu selama Tante dan Om pergi,” tawarku. Ide itu terlintas begitu saja.

Tante Valeria menghela napas. “Di sana kamu tidak ada teman. Di sini ada Armand. Lagipula kamu sakit. Tante tidak akan tenang kalau kamu tinggal di sana dalam keadaan sakit.”

“Kan ada Bibi Anca, Tante,” aku masih berusaha meyakinkan.

Tante Valeria menggeleng tidak setuju. “Tidak, kamu di sini saja. Armand yang akan menemanimu.”

“Tapi, Tante….”

“Sudah, jangan membantah. Tante dan Om sebentar lagi berangkat. Nanti ada pengurus rumah yang datang membawakan obat,” Tante Valeria mendekat dan mencium keningku. “Cepat sembuh.”

Tante Valeria beranjak pergi dan menutup pintu kamarku dengan hati-hati. Setelah Tante Valeria tidak tampak lagi, aku hempaskan tubuhku untuk berbaring. Pusing dan bingung!

****

Kali ini aku nggak bisa ngapa-ngapain. Armand ngikat aku di sebuah pohon besar. Aku nggak bisa menghindar lagi. Armand mulai berjalan mendekatiku. Dia dekatkan wajahnya ke wajahku. Kayaknya aku mau dicium lagi deh. Buru-buru aku monyongin bibir. Plukk! Bukan bibir Armand yang kudapat. Tapi tangan Armand yang pegang diapers dan lagi gosok-gosokin benda itu ke wajahku. Menjijikan!

“Aaaa...!”

Aku langsung terduduk. Keringat sebesar biji jagung masih nempel di beberapa bagian tubuh dan bajuku basah juga basah gara-gara keringat itu.

“Aaaaaa...!” aku teriak lagi.

-----------------------------------------------------------------------------

Full chapter at www.laralova.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline