Melihat foto-foto anak-anak Palestina yang hangus terbakar dan hancur diledakkan oleh bom Yahudi Israel (La’natullah ‘alaihim), hati ini terasa sakit dan dada tiba-tiba terasa sesak. Seolah foto itu berbicara kepadaku, seolah foto-foto itu bercerita banyak hal tentang apa yang mereka (adik-adik kecil) rasakan dan alami di negerinya. Sehingga telinga ini seolah ikut mendengar dentuman rudal dan ledakan bom yang bersahut-sahutan.
Mereka bercerita padaku...
Kakak... kakak sedang apa? Aku dan teman-temanku sedang bermain petak umpet sama seperti anak kecil lainnya di negeri kakak. Sama seperti adik kecil kakak. Hanya saja kami tidak bermain bersama teman seusia melainkan harus bermain bersama orang dewasa bersenjata api. Mereka Zionis yang ingin merebut negeri kami. Bahkan tak jarang mereka merebut nyawa saudara-saudara kami. Ya, saudara kakak juga.
Kalau anak-anak kecil di negeri kakak bersembunyi di balik pohon atau dinding rumah mereka saat main petak umpet, kami di sini hanya bersembunyi di balik sisa reruntuhan tembok rumah-rumah kami. Sebab rumah kami juga tak luput dari rudal om-om bersenjata itu. Tak jarang mereka juga menghujamkan senjatanya ke teman seusiaku jika kami sedang berpapasan. Padahal kami tidak membuat kesalahan dan kami juga tidak menginjak kaki mereka. Sungguh. Tapi ternyata, bertemu mereka adalah sebuah kesalahan sehingga tidak sedikit di antara kami harus merasakan darah bercucuran dari pelipis dan kepala karena sepatu yang mereka pakai melayang begitu saja. Dan tidak sedikit tubuh teman seusiaku harus mengucurkan darah karena ditembus peluru-peluru senjata mereka. Aku yakin, di negeri kakak permainan petak umpetnya tidak seperti di negeriku kan, Kak?
Setiap akan tidur, ummi selalu menutup telingaku dengan sesuatu bahkan kadang sengaja mencari kapas untuk menyumbatnya serapat mungkin. Kata ummi agar aku bisa tidur dengan nyenyak. Padahal sebenarnya aku sudah mulai terbiasa dengan suara ledakan dan dentuman itu. Tapi ummi tetap saja ummi, ummi berbaik hati melakukannya padahal ummi sendiri hampir tidak pernah tidur setiap malam sebab harus menjagaku.
Kak... Jika anak-anak kecil seusiaku di negeri kakak atau negeri lainnya selalu melihat sinar indah mentari pagi setiap hari saat bangun dari tidurnya, kami di sini hanya melihat kepulan asap hitam bekas hantaman rudal mengepul ke angkasa membuat mentari tak berani menampakkan diri. Jika anak-anak kecil seusiaku di negeri kakak atau negeri lainnya selalu mendengar kicau merdu burung-burung setiap pagi, kami di sini selalu mendengar teriakan dan tangisan saudara kami yang kehilangan anak, ibu, ayah, kakek, nenek, om atau tantenya. Di sini kami tidur siaga dan bangun disambut duka. Tapi tidak mengapa, Kak. Sungguh kami sudah terbiasa...
Jika anak-anak kecil di negeri kakak menonton kartun favoritnya setiap hari, aku dan teman-teman seusiaku di sini selalu melihat darah mengalir seperti air dari tubuh-tubuh saudara kami, tetangga kami, bahkan teman seusia kami saat sedang mencari kerikil bersama. Kadang kerikil itu kami jadikan kelereng untuk bermain. Maaf kakak, bukan tidak serius mengumpulkan kerikil tapi sungguh kami tidak bisa menghindar dari fitrah. Sungguh, kami masih anak-anak. Kami bermain sambil berperang. Kepulan asap dan besarnya api adalah tontonan kami hampir setiap hari. Tapi sungguh, kami tidak pernah main-main saat harus melemparkan kerikil-kerikil itu ke wajah dan tank-tank milik Yahudi Israel La’natullah! Bagi kami yang kecil ini, mereka tak lebih dari binatang menjijikkan yang halal dibunuh! Sungguh, Kak. Kami tidak pernah lari saat harus bertemu mereka. Percayalah...
Kak, di sini jumlah sholat kami bertambah. Kami harus sholat 6 kali dalam sehari. 5 kali untuk sholat fardhu dan satunya lagi untuk sholat jenazah. Bahkan sehari kami bisa sholat jenazah berkali-kali. Apakah di negeri kakak jumlah sholatnya jadi bertambah seperti di negeri kami?
Kak... Apakah di sana juga ada suara dentuman? Bukan ledakan petasan, Kak. Maksudku suara ledakan bom dan rudal. Atau paling kecil suara dentum peluru yang memabi-buta. Di sini kami tidak butuh petasan, Kak. Kami justru ingin merakit bom sendiri untuk membantu abi melawan Zionis. Hmm... Tidak ada ya? Di sini banyak sekali, Kak. Namun suara-suara itu terdengar seperti orkestra dari syurga. Suara yang kata banyak orang menakutkan itu, di sini menjadi suara yang indah. Seolah suara itu berbisik kepada kami, “ Syurga semakin dekat.... kemarilah wahai para perindu syahiid...” Jika beruntung, maka salah satu di antara kami akan benar-benar melihat syurga sesaat setelah tubuh kami hancur diledak rudal atau tercabik oleh jutaan peluru. Seketika aroma kasturi melangit di bumi suci kami, Palestina. Kakak mau coba? Kemarilah... temani aku mengumpulkan peluru.
Kak, tiba-tiba aku rindu sekali pada Abi. Tapi kata Ummi, Abi sedang menunggu di satu tempat paling baik, paling indah dan paling nyaman. Tempat terbaik yang belum pernah ada di dunia. Aku tidak mengerti maksud Ummi. Bagaimana bisa Ummi bilang tempat itu paling indah tapi tidak pernah ada di dunia? Apa kakak mengerti maksud Ummi? Jika mengerti, tolong beritahu aku ya, Kak. Dan jika kakak bertemu Abi, tolong katakan padanya bahwa aku rindu... suruh Abi pulang ya, Kak. Aku rindu, Abi. Sungguh...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H