- Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
- Model Pembelajaran Berbasis Masalah adalah pendekatan di mana siswa belajar melalui pemecahan masalah yang autentik, membantu mereka mengembangkan pengetahuan sendiri, keterampilan berpikir kritis, dan meningkatkan kemandirian serta kepercayaan diri. Dalam model ini, siswa diarahkan untuk menggunakan masalah kehidupan nyata sebagai landasan pembelajaran, yang membantu mereka meningkatkan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
- Penilaian dalam model ini tidak hanya berfokus pada pengetahuan procedural, tetapi juga pada proses pemecahan masalah siswa. Penilaian kinerja memungkinkan siswa menunjukkan kemampuan mereka dalam situasi nyata, yang sesuai dengan perkembangan zaman dan lingkungan mereka. Dengan demikian, model ini mendukung siswa untuk mengembangkan kemampuan adaptasi yang penting dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.[1]
- Model pembelajaran, seperti yang dijelaskan oleh Joyce dan Weil yang dikutip oleh Trianto (2010), merupakan suatu rencana atau pola yang membentuk kurikulum, merancang bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas. Ini adalah kerangka konseptual yang mengorganisir pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu, menjadi panduan bagi perancang dan pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.
- Salah satu model yang menonjol adalah Problem Based Learning (PBL), yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah, memungkinkan mereka mempelajari pengetahuan dan keterampilan dalam konteks nyata. PBL bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah serta mendorong kemandirian siswa dalam pembelajaran.
- Jika dianalisis lebih mendalam, PBL sebenarnya telah diterapkan secara epistemologis sejak lama, meskipun mungkin tidak secara sengaja. Salah satu pemikir pendidikan yang memengaruhi model pembelajaran berbasis masalah adalah John Dewey. Menurutnya, belajar berdasarkan masalah melibatkan interaksi antara stimulus dan respons, di mana lingkungan memberikan masukan berupa masalah, dan otak peserta didik berperan dalam menafsirkan masukan tersebut untuk menyelesaikan masalah dengan efektif.
- PBL adalah pendekatan yang memberikan pengetahuan baru kepada peserta didik untuk menyelesaikan masalah, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan dengan memulai dari masalah yang relevan bagi peserta didik, dan memungkinkan mereka mendapatkan pengalaman belajar yang lebih realistis. Meskipun demikian, guru tetap memiliki peran dalam mengarahkan pembelajar untuk menemukan masalah yang relevan, aktual, dan realistis.
- Pembelajaran Berbasis Masalah, juga dikenal sebagai pembelajaran kolaboratif, menggabungkan potensi guru dan siswa dengan fokus pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah dan belajar mandiri. Ini memungkinkan siswa untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran, menghadapi tantangan kehidupan dan karier dalam lingkungan yang kompleks. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dalam memunculkan dan menyelesaikan masalah pembelajaran.
- Dengan demikian, pembelajaran berbasis masalah mengurangi peran guru dan memberi lebih banyak kesempatan kepada siswa. Model ini mendorong pendidik untuk mempersiapkan diri dengan baik dalam hal materi dan strategi pembelajaran, serta memahami dengan baik konteks peserta didik dan tanggung jawab mereka dalam mengembangkan kemampuan analisis, penerapan pengetahuan, dan keterampilan objektif.[2]
- Pembelajaran berbasis masalah adalah proses pengembangan kurikulum dan sistem instruksional yang bertujuan untuk mengajarkan siswa strategi pemecahan masalah, pengetahuan disiplin, dan keterampilan, sambil melibatkan mereka secara aktif dalam menyelesaikan masalah yang meniru situasi dunia nyata.
- Model pembelajaran berbasis masalah melibatkan peserta didik dalam menggunakan berbagai kemampuan berpikir, baik secara individu maupun dalam kelompok, serta memanfaatkan lingkungan nyata untuk mengatasi permasalahan dengan cara yang bermakna, relevan, dan kontekstual (Lidinillah, 2013). Pendekatan ini menitikberatkan pada minat peserta didik terhadap masalah yang ada dalam masyarakat, yang kemudian menjadi fokus pembelajaran.
- Masalah-masalah ini bisa berasal dari perhatian individu peserta didik atau kelompok, tanggapan terhadap masalah yang ada di masyarakat, atau masalah publik secara umum. Proses pembelajaran dimulai dengan identifikasi masalah, dilanjutkan dengan kegiatan seperti pengumpulan informasi, penelitian lapangan, analisis data, hingga pemecahan masalah, sehingga peserta didik memperoleh pemahaman baru sebagai hasil pembelajaran (Mayasari, dkk 2016).[3]
- program pembelajaran bertujuan tidak hanya untuk memahami serta menguasai apa dan bagaimana suatu fenomena terjadi, melainkan juga memberikan pemahaman dan keterampilan untuk mengetahui alasan di balik kejadian tersebut. Dengan fokus pada permasalahan semacam itu, pembelajaran pemecahan masalah menjadi sangat penting untuk diperkenalkan (Made Wena, 2009:52).
- Menurut Gagne (1985) dalam buku "Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer", pemecahan masalah dianggap sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan untuk mengatasi situasi yang baru. Pemecahan masalah tidak hanya sebagai kemampuan menerapkan aturan yang sudah dipelajari sebelumnya, melainkan lebih merupakan proses untuk memperoleh seperangkat aturan pada tingkat yang lebih tinggi.
- Ketika seseorang berhasil menemukan kombinasi perangkat aturan yang efektif untuk situasi yang dihadapi, bukan hanya masalah yang dapat dipecahkan, tetapi juga penemuan sesuatu yang baru. Hal ini merujuk pada perangkat prosedur atau strategi yang memungkinkan seseorang untuk meningkatkan kemampuan berpikir mandiri.
- Problem Based Learning (PBL) mulai dikembangkan sejak tahun 1970-an di Mc Master University di Kanada, dan pendekatan ini telah diterapkan di berbagai tingkat pendidikan. Bahkan, jenjang pendidikan yang lebih rendah juga telah mulai mengadopsi metode ini karena keunggulannya. Seiring dengan pertumbuhan yang cepat, terdapat beragam rumusan untuk pendekatan ini. Salah satu rumusan yang cukup representatif adalah yang disampaikan oleh Prof. Howard Barrows dan Kelson (dalam M. Taufiq Amir, 2010:21).[4]
- Ciri -- Ciri Pembelajaran Berbasis Masalah
- Menurut Lynda Wee (seperti yang dikutip dalam M. Taufiq Amir, 2010:13), ciri utama dari proses Pembelajaran Berbasis Masalah sangat mendukung penggunaan keterampilan mengatur diri sendiri (self-directed), kolaboratif, berpikir secara metakognitif, serta kemampuan mencari informasi yang cukup, yang semuanya penting untuk dunia kerja.
- Secara keseluruhan, karakteristik yang terdapat dalam proses Pembelajaran Berbasis Masalah mencakup:
- Masalah awal pembelajaran.
- Biasanya, masalah dunia nyata yang digunakan memiliki struktur yang kompleksnya tidak berstruktur dengan baik (ill-structured).
- Masalah sering kali mengharuskan pemahaman dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dengan solusi yang melibatkan konsep dari berbagai mata pelajaran atau dibidang ilmu yang berbeda.
- Masalah menantang pembelajaran untuk menjelajahi bidang pembelajaran baru.
- Fokus utama adalah pada pembelajaran mandiri (self-directed learning).
- Memanfaatkan sumber pengetahuan yang beragam, bukan hanya terbatas pada satu sumber.Proses pencairan, evaluasi, dan pemanfaatan pengetahuan ini menjadi kunci penting.
- Pembelajaran melibatkan kolaborasi, komunikasi, dan kerja sama. Siswa bekerja bersama dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajar satu sama lain (peer teaching), dan melakukan presentasi.
- Penyajian sebuah masalah dapat meningkatkan pembelajaran secara signifikan. Ini adalah salah satu ciri khas Pembelajaran Berbasis Masalah yang berbeda dengan metode pembelajaran konvensional. Pembelajaran tidak hanya tentang menghafal, meniru, atau mencontoh. Demikian pula, dalam Pembelajaran Berbasis Masalah, masalah tidak hanya dianggap sebagai latihan yang diberikan setelah contoh soal disajikan.
- Untuk mendukung strategi pembelajaran berbasis masalah, guru perlu memilih materi pelajaran yang mencakup permasalahan yang relevan. Materi pembelajaran tidak hanya terbatas pada buku teks sekolah, tetapi juga bisa diambil dari sumber-sumber di lingkungan sekitar, seperti peristiwa dalam masyarakat atau di lingkungan sekolah.[5]
- Menurut Shahram dalam Sari (2012, hal 14), pembelajaran berdasarkan masalah memiliki ciri seperti berikut :
- Dalam pembelajaran, fokusnya adalah pada peserta didik, sementara guru berperan sebagai pengarah atau pembimbing. Situasi bermasalah disajikan untuk memfasilitasi pengembangan pengetahuan dan keterampilan dalam menyelesaikan masalah. Peserta didik bekerja sama dalam kelompok untuk memperoleh informasi yang relevan dan bermakna bagi perkembangan pribadi mereka.
- Belajar melebihi tujuan yang ditetapkan. Kemampuan dalam memecahkan masalah dalam model ini memfasilitasi analisis situasi. Masalah yang diajukan menjadi sarana pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan dalam pemecahan masalah.[6]
- Berdasarkan ringkasan beberapa pandangan ahli sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah menekankan pentingnya menyelesaikan permasalahan. Peserta didik diharapkan aktif mencari informasi dari berbagai sumber terkait dengan masalah yang dihadapi. Hasil analisis yang dilakukan peserta didik kemudian dijadikan solusi untuk permasalahan tersebut dan disampaikan kepada orang lain.
- Kriteria Masalah Pada Pengajaran Berbasis Masalah
- Ibrahim (seperti yang dikutip dalam Hosnan, 2014) berpendapat bahwa dasar pemikiran dalam pengembangan strategi pembelajaran tersebut sesuai dengan pandangan konstruktivis, yang menekankan pentingnya siswa untuk menyelidiki lingkungan mereka dan membangun pengetahuan secara pribadi yang bermakna. Ketika siswa memasuki kelas, mereka tidak datang dengan pikiran kosong, melainkan telah membawa pengetahuan awal.
- Oleh karena itu, berdasarkan pemikiran tersebut, pembelajaran perlu dimulai dengan menghadirkan permasalahan yang relevan dengan konteks lingkungan siswa (permasalahan kontekstual). Ini sejalan dengan pandangan Arends (seperti yang dikutip dalam Abbas, 2000:13).Pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Autentik berarti bahwa masalah harus lebih terkait dengan pengalaman dunia nyata siswa daripada hanya berdasarkan prinsip-prinsip disiplin ilmu.
- Jelas berarti bahwa masalah dirumuskan dengan jelas sehingga tidak menimbulkan kesulitan tambahan bagi siswa saat mencoba menyelesaikannya.
- Mudah dipahami berarti bahwa masalah yang diberikan harus mudah dipahami oleh siswa, serta disusun dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan mereka.
- Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran berarti bahwa masalah yang disusun harus memiliki cakupan yang luas, mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Selain itu, masalah harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
- Bermanfaat berarti bahwa masalah yang telah disusun dan dirumuskan harus memberikan manfaat baik bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun bagi guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat. adalah yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir dan memecahkan masalah, serta merangsang motivasi belajar siswa.[7]
- Prinsip -- Prinsip Pembelajaran Berbasis Masalah
- Prinsip pokok dari pembelajaran berbasis masalah adalah memanfaatkan situasi nyata sebagai alat untuk memperluas pengetahuan peserta didik dan juga membangun kemampuan berpikir kritis serta keterampilan dalam menyelesaikan masalah. Situasi nyata merujuk pada masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki manfaat langsung ketika dipecahkan.
- Guru atau peserta didik dapat memilih masalah nyata sesuai dengan tingkat kompetensi yang spesifik. Masalah tersebut bersifat terbuka, artinya memiliki berbagai jawaban atau pendekatan penyelesaian yang mendorong rasa ingin tahu peserta didik untuk menemukan berbagai strategi dan solusi.[8]
- Tahap -- Tahap Pemecahan Masalah
- Menurut Lepenski (2005), tahap -- tahap pemecahan masalah sebagai berikut:
- Penyampaian ide (ideas)
- Dalam tahap ini, terjadi diskusi bebas untuk menghasilkan gagasan baru. Pebelajar mencatat semua masalah yang perlu dipecahkan, kemudian bersama-sama mengevaluasi dan mempertimbangkan relevansi ide-ide tersebut dengan masalah yang ada, serta menentukan kevalidannya untuk dilanjutkan ke tahap selanjutnya dalam proses kerja.
- Penyajian fakta yang diketahui (known facts)
- Pada langkah ini, mereka diminta untuk mengumpulkan data dan fakta yang mendukung masalah yang telah diajukan. Langkah ini membantu dalam memperjelas kesulitan yang terkait dengan masalah tersebut. Selain itu, tahap ini juga dapat mencakup penerapan pengetahuan yang mereka miliki tentang isu-isu khusus, seperti pelanggaran kode etik, teknik penyelesaian konflik, dan lain sebagainya.
- Mempelajari Masalah (learning issues)
- Pembelajar diminta untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang perlu diketahui untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Setelah melakukan diskusi dan konsultasi, mereka melakukan penelitian dan mengumpulkan informasi.
- Mereka meninjau kembali gagasan awal untuk menentukan mana yang masih relevan. Terkadang, dalam proses menyampaikan masalah, mereka menemukan cara baru untuk memecahkan masalah. Ini bisa menjadi proses untuk menghilangkan ide yang tidak dapat dikerjakan dan mengevaluasi ide yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.
- Menyusun Rencana Tindakan (action plan)
- Dalam langkah ini, pembelajar didorong untuk merancang sebuah strategi berdasarkan hasil penelitian mereka. Strategi ini mencakup rencana tindakan yang menjelaskan langkah-langkah yang akan diambil atau memberikan rekomendasi untuk menyelesaikan masalah.
- Evaluasi (Evaluation)
- Tahap evaluasi ini melibatkan tiga aspek: (1) bagaimana pembelajar dan penilai mengevaluasi produk akhir dari proses, (2) bagaimana mereka menerapkan langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah untuk menyelesaikan masalah, dan (3) bagaimana pembelajar akan berbagi pengetahuan dan hasil pemecahan masalah mereka sebagai bentuk pertanggungjawaban. Evaluasi dilakukan melalui berbagai cara, seperti secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk presentasi formal.
- Pembelajaran berbasis masalah melibatkan penggunaan masalah nyata yang tidak terstruktur dan terbuka sebagai kerangka bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis, dan memperluas pengetahuan mereka. Berbeda dengan metode pembelajaran konvensional yang menggunakan masalah nyata untuk menerapkan konsep, pendekatan berbasis masalah menggunakan masalah nyata sebagai stimulan untuk proses belajar peserta didik sebelum mereka mempelajari konsep formal.
- Peserta didik secara kritis mengidentifikasi informasi dan strategi yang relevan serta melakukan penyelidikan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Melalui pemecahan masalah tersebut, peserta didik memperoleh atau membangun pengetahuan tertentu, sambil juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Meskipun pengetahuan yang diperoleh mungkin masih bersifat informal, melalui diskusi, pengetahuan tersebut dapat diintegrasikan sehingga menjadi pengetahuan formal yang terhubung dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik sebelumnya.[9]
- Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah
- Tujuan utama Pembelajaran Berbasis Masalah bukanlah hanya menyampaikan banyak pengetahuan kepada siswa, tetapi lebih pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah. Selain itu, metode ini bertujuan untuk membantu siswa menjadi pembelajar mandiri dan meningkatkan keterampilan sosial mereka melalui kolaborasi dalam mengidentifikasi informasi, strategi, dan sumber belajar yang relevan untuk menyelesaikan masalah.[10]
- Tujuan yang ingin dicapai dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir secara kritis, analitis, sistematis, dan logis untuk menemukan berbagai alternatif pemecahan masalah. Hal ini dilakukan melalui eksplorasi data secara empiris untuk memupuk sikap ilmiah.
- Hasil pembelajaran dari metode berbasis masalah mencakup pengembangan keterampilan penyelidikan, kemampuan menyelesaikan masalah, pemahaman peran orang dewasa, dan kemampuan menjadi pembelajar yang mandiri dan independen bagi peserta didik.[11]
- Pembelajaran Berbasis Masalah juga mempunyai beberapa tujuan yaitu:
- Meningkatkan Keterlibatan Siswa
- Meningkatkan keterlibatan siswa merupakan salah satu tujuan utama dari implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/PBL). Dengan memperkenalkan masalah yang nyata dan relevan bagi kehidupan siswa, PBL membuka ruang untuk eksplorasi yang lebih dalam dan pengalaman belajar yang lebih menarik. Masalah yang diajukan dalam konteks PBL sering kali mencerminkan tantangan atau situasi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dapat melihat hubungan langsung antara apa yang mereka pelajari di kelas dengan dunia nyata di sekitar mereka.[12] Hal ini memicu minat dan motivasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih dinamis dan bermakna.
- Selain itu, melalui PBL, siswa juga diajak untuk berkolaborasi dengan sesama dalam menyelesaikan masalah yang kompleks. Keterlibatan dalam diskusi kelompok, perencanaan strategi bersama, dan pemecahan masalah secara kolaboratif tidak hanya meningkatkan pemahaman konsep, tetapi juga mengembangkan keterampilan sosial dan kerjasama siswa. Dengan bekerja sama dalam tim, siswa belajar untuk mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain, menyampaikan ide-ide mereka secara efektif, serta bekerja menuju tujuan bersama.[13] Hal ini tidak hanya relevan dalam konteks pembelajaran, tetapi juga membekali siswa dengan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan dan karier di masa depan. Sebagai hasilnya, keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran menjadi lebih tinggi dan berkelanjutan, menciptakan lingkungan belajar yang dinamis dan kolaboratif.
- Mendorong Kolaborasi
- Pembelajaran berbasis masalah tidak hanya mendorong keterlibatan siswa secara aktif, tetapi juga mempromosikan kolaborasi di antara mereka. Dalam konteks PBL, siswa diberi kesempatan untuk bekerja dalam kelompok atau tim kecil untuk mengeksplorasi dan menyelesaikan masalah yang kompleks. Melalui kolaborasi ini, siswa dapat membagi pengetahuan, pengalaman, dan pemikiran mereka untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan solusi yang lebih komprehensif.[14] Kolaborasi dalam PBL tidak hanya berfokus pada pencapaian tujuan akademis, tetapi juga mengembangkan keterampilan sosial seperti komunikasi efektif, kerjasama, dan kepemimpinan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dan di tempat kerja di masa depan.
- Selain itu, melalui pengalaman bekerja dalam tim, siswa juga dibekali dengan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi anggota produktif dalam lingkungan kerja yang kolaboratif. Mereka belajar untuk menghargai peran dan kontribusi masing-masing anggota tim, mengelola konflik, dan mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, PBL tidak hanya mengembangkan pemahaman akademis siswa, tetapi juga membentuk karakter mereka sebagai individu yang mampu bekerja dalam tim dan berkolaborasi dengan orang lain secara efektif. Ini sesuai dengan tuntutan dunia kerja yang semakin mengedepankan kerja tim dan kolaborasi lintas disiplin sebagai kunci untuk mencapai kesuksesan. Sebagai hasilnya, siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah akan memiliki landasan yang kuat untuk sukses dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka di masa depan.
- Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis
- Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning/PBL) memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis dan analitis siswa. Dalam konteks PBL, siswa dihadapkan pada masalah-masalah yang kompleks dan seringkali ambigu, yang memerlukan mereka untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang relevan untuk mencapai pemahaman yang mendalam.[15] Proses ini tidak hanya membutuhkan penerapan pengetahuan yang dimiliki, tetapi juga memicu siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, di mana mereka harus mengevaluasi berbagai solusi yang mungkin, mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan dari setiap solusi, serta membuat keputusan yang didukung oleh bukti dan logika.
- Selain itu, melalui PBL, siswa juga diajak untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mempertimbangkan implikasi dari setiap keputusan yang mereka ambil. Hal ini memperluas pola pikir mereka dan membantu mereka mengembangkan kemampuan berpikir analitis, di mana mereka dapat menguraikan masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, mengidentifikasi pola atau hubungan antara informasi yang ada, dan membuat kesimpulan yang didasarkan pada analisis yang sistematis.[16] Dengan demikian, PBL tidak hanya membantu siswa untuk memahami konsep-konsep secara mendalam, tetapi juga membentuk mereka menjadi pemikir yang kritis dan analitis yang mampu menghadapi tantangan kompleks di dunia nyata. Ini merupakan keterampilan yang sangat berharga dalam era informasi dan pengetahuan saat ini, di mana kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis menjadi kunci untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan dinamis..
- Meningkatkan Keterampilan Komunikasi
- Meningkatkan keterampilan komunikasi adalah salah satu manfaat utama dari pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning/PBL). Dalam konteks PBL, siswa tidak hanya diminta untuk memecahkan masalah secara individu, tetapi juga untuk berbagi ide, argumen, dan solusi mereka dengan anggota tim atau kelompok mereka.[17] Proses diskusi dan kolaborasi ini memungkinkan siswa untuk mengasah keterampilan komunikasi lisan, di mana mereka harus menyampaikan pemikiran mereka dengan jelas dan persuasif kepada rekan-rekan mereka. Ini melibatkan kemampuan untuk mengorganisir ide-ide dengan baik, menggunakan bahasa yang sesuai, dan memperhatikan respon dari pendengar untuk memastikan pesan mereka dipahami dengan baik.
- Selain itu, dalam konteks PBL, siswa juga sering diminta untuk menyampaikan ide, analisis, dan solusi mereka dalam bentuk tulisan, baik itu dalam bentuk laporan proyek, makalah, atau presentasi. Proses ini membantu mengembangkan keterampilan komunikasi tertulis siswa, di mana mereka harus mengorganisir informasi dengan baik, menggunakan struktur yang jelas, dan menulis dengan gaya yang sesuai dengan audiens yang dituju. Melalui pengalaman ini, siswa belajar untuk menyampaikan pemikiran mereka secara efektif dalam berbagai format komunikasi, yang merupakan keterampilan yang sangat penting dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka di masa depan.[18] Dengan demikian, PBL tidak hanya membantu siswa untuk menguasai materi pembelajaran, tetapi juga membentuk mereka menjadi komunikator yang kompeten dan efektif yang mampu berinteraksi dengan orang lain secara efektif dalam berbagai konteks..
- Mempersiapkan Siswa untuk Dunia Nyata
- Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning/PBL) memiliki peran yang signifikan dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan di dunia nyata setelah mereka lulus. Dengan menempatkan fokus pada masalah dunia nyata, PBL memungkinkan siswa untuk mengaitkan teori yang mereka pelajari di kelas dengan praktik yang ada di masyarakat.[19] Hal ini membantu siswa memahami relevansi dan aplikasi dari konsep-konsep akademis dalam konteks kehidupan sehari-hari, serta memberi mereka pengalaman langsung dalam menghadapi situasi yang mereka akan temui di masa depan.
- Melalui PBL, siswa diajak untuk menganalisis masalah yang kompleks dan seringkali ambigu, yang mencerminkan tantangan yang mereka akan hadapi di dunia nyata. Proses ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah yang kritis dan kreatif, serta meningkatkan keterampilan komunikasi dan kerjasama dalam berkolaborasi dengan orang lain. Dengan demikian, PBL tidak hanya membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan akademis yang diperlukan, tetapi juga membentuk mereka menjadi individu yang siap menghadapi dunia nyata dengan percaya diri dan kompeten.
- Selain itu, PBL juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan berbagai soft skill atau keterampilan lunak yang diperlukan dalam dunia kerja, seperti kemampuan berpikir kritis, komunikasi efektif, kerjasama tim, dan kepemimpinan. Dengan demikian, PBL tidak hanya mempersiapkan siswa untuk kesuksesan akademis, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dalam karier mereka di masa depan. Ini sesuai dengan tuntutan dunia kerja yang semakin kompleks dan dinamis, di mana kemampuan untuk beradaptasi dan belajar secara kontinu menjadi kunci untuk mencapai kesuksesan jangka panjang..
Dengan demikian, pembelajaran berbasis masalah diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan relevan bagi siswa.[20]
- Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah
- KelebihanModel Pembelajaran Berbasis Masalah
- Siswa memperoleh pemahaman konsep yang lebih baik karena mereka aktif dalam menemukan konsep tersebut.
- Aktif memecahkan masalah melibatkan siswa secara aktif dan meningkatkan keterampilan berfikir tingkat tinggi.
- Pengetahuan disampaikan berdasarkan skema yang dimiliki siswa, membuat pembelajaran lebih bermakna.
- Siswa melihat relevansi pembelajaran dengan kehidupan nyata melalui penyelesaian masalah yang berkaitan.
- Pembelajaran ini membiasakan siswa dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan terampil, mempersiapkan mereka untuk tantangan kehidupan nyata.
- Membantu mengembangkan kemampuan siswa dalam berfikir kritis dan menyesuaikan diri dengan pengetahuan baru.
- Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
- Menentukan tingkat kesulitan masalah yang sesuai dengan tingkat berpikir, pengetahuan, dan pengalaman siswa memerlukan keterampilan dan kemampuan guru.
- Pembelajaran berbasis masalah membutuhkan waktu yang cukup lama.
- Mengubah kebiasaan siswa dari pasif menjadi aktif dalam memecahkan masalah bisa menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.[21]
- Kemampuan Berfikir Kreatif Matematika
- Menurut La Moma (2015), berpikir kreatif dalam matematika mencakup orientasi atau disposisi terhadap instruksi matematis, termasuk tugas penemuan dan pemecahan masalah. Aktivitas ini dapat membantu siswa mengembangkan pendekatan yang lebih kreatif dalam matematika, dan guru dapat menggunakan tugas-tugas tersebut untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam hal kreativitas.
- Krutetskii menyatakan bahwa kreativitas sering dihubungkan dengan bakat matematika. Lebih jauh, Krutetskii menjelaskan bahwa kreativitas dalam pemecahan masalah matematis melibatkan kemampuan untuk merumuskan masalah matematika secara bebas, bersifat penemuan, dan baru. Ide-ide ini sejalan dengan konsep seperti fleksibilitas dan kelancaran dalam menghasilkan asosiasi baru dan jawaban divergen yang terkait dengan kreativitas secara umum.
- Menurut Nurmasari dan rekan (2014), kemampuan berpikir kreatif dalam matematika dan bidang lainnya adalah bagian penting dari keterampilan hidup yang perlu ditingkatkan, terutama dalam menghadapi era informasi yang semakin maju dan persaingan yang semakin ketat.
- Individu yang diberi kesempatan untuk mengembangkan berpikir kreatif akan mengalami pertumbuhan yang positif dan mampu menghadapi berbagai tantangan. Sebaliknya, individu yang tidak diizinkan untuk berpikir kreatif mungkin akan merasa frustrasi dan tidak puas. Pengembangan aktivitas kreatif ini melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran yang beragam, orisinal, rasa ingin tahu, membuat prediksi, dan mencoba-coba.
- Adapun ciri -- ciri kemampuan berfikir kreatif menurut Azhari (2013) yaitu:
- Keterampilan Berpikir Lancar
- Membuat banyak ide / respon yang sesuai.
- Meningkatkan semangat belajar.
- Aliran pemikiran yang lancar.
- Keterampilan Berpikir Lentur (fleksibel)
- Menghasilkan ide -- ide yang konsisten.
- Dapat mengubah metode atau pendekatan.
- Orientasi pemikiran yang berbeda.
- Keterampilan Berpikir Orisinil
- Memberi jawaban yang tidak konvensional.
- Memberikan solusi yang berbeda dari yang lain.
- Menawarkan jawaban yang jarang dipertimbangkan oleh banyak orang.
- Keterampilan Berpikir Terperinci (elaborasi)
- Memperluas dan memperkaya ide.
- Mengurangi aspek -- aspek tertentu.
- Meluaskan ruang lingkup sebuah konsep.[22]
- Dari penjelasan tersebut, ciri -- ciri kemampuan berpikir kreatif dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menilai kemampuan berpikir kreatif seseorang.