Mozaik 1
Aku sudah tak heran lagi bila aku menjadi bahan cibiran mereka. Mereka yang hadir di sekitarku. Mencibir tentang tingkah lakuku, ucapanku, dan semua perubahanku. Pertama kali, aku malu dan sangat risih dengan perubahan kondisi sosial ini. Namun lambat laun, aku menikmati dan dingin terhadap bibir-bibir pedas mereka. Bagaikan batu karang yang tak terhempas gelombang besar. Seperti kata pepatah, “biarkan anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Biarlah mereka mau berkata apa tentangku. Yang aku tau sekarang. Aku bahagia, aku bebas, serasa hidup kembali. Toh, ini sudah pilihanku. Yaps, pilihanku untuk membuka mahkotaku, hijabku. Hijab yang selama ini melindungiku. Ah, melindungiku…? Tidak, hijab itu yang menghancurkanku.
Sejak kelas 2 MTS awal tepatnya, semua itu berubah drastis. Kebanggaan, kasih sayang, pujian, warna putih itu berganti menjadi hitam, Yah, hitam karena aku. Sejak kejadian malam itu, diriku serasa jatuh berkeping-keping. Bukan hanya diriku, tapi hati ini teramat perih. Dimana Tuhan kala itu? Apakah Dia sedang tidur? Adilkah hidup ini jika itu memang nyata? Aku selalu berharap malam itu hanyalah mimpi buruk, tapi Tuhan benar-benar menghianatiku kala itu. Dia menghianati janji yang diucapkan-Nya untukku. Dan kau hijab, kau bukan lagi sahabatku sejak saat itu. Kau sama saja dengan yang lain. Kau tak pernah menghargai perjuanganku mempertahankanmu. Dan tanpa semua orang tau, mulai saat itu runtuh seketika semua prinsip dan pendirianku. Prinsip yang kubangun saat pertama kali aku mengenal kata cinta, saat pertama kali mengenalnya dalam hidup. Dan prinsip yang pertama aku bangun ketika aku percaya pada Tuhan, yah tuhan yang selalu di puja-puja hamba-Nya.
Setelah itu, aku mulai mencari titik yang lain. Titik yang membuatku bebas dan membuatku bahagia sepenuhnya. Yach, titik ini, titik hitam pekat ini. Sudah 3 tahun aku bergaul dengan mereka. Nongkrong bareng, jalan-jalan bareng, bahkan tak jarang keluar malam bareng sama cowok. Bersama mereka, membuatku benar-benar nyaman dan tentram. Selalu mengerti, menghargai, memahami antara yang lain, itu yang aku suka dari mereka. Mereka’lah yang selalu ada saat aku benar-benar membutuhkan tempat untuk sekedar bersandar, yach merekalah, sahabat-sahabat setanku,hhe. Kenapa aku namakan sahabat setan? Karena terkadang meskipun kita tau jalan itu sesat, kita tetap happy dan nyaman didalamnya. Dan mereka yang saat ini bersamaku, siapa lagi jika bukan setan yang berwujud manusia, atau bahkan manusia yang seperti setan. Ah, yang terpenting aku menikmati bersahabat dengan mereka.
Namaku Mar’ah. Tapi sekarang teman-temanku lebih suka memanggilku Meme. Kau tau kenapa? Kata mereka, nama Mar’ah sudah tak cocok lagi denganku. Ah, aku tersenyum geli mendengar pernyataan itu. Aku terlahir di sebuah desa yang letaknya tak jauh dari kota. Desa SukaMakmur, namanya. Yang selalu makmur dengan masyarakatnya yang agamis, rukun, dan suka bergotong-royong. Akupun tercipta dalam keluarga yang sangat agamis. Almarhum kakekku kyai besar dan terkenal tirakat semasa hidupnya. Sedangkan orang tuaku, pemuka Islam di desaku. Pemuka Islam yang disegani dan dihormati. Keluargaku sangat menyayangiku, dan sangat membanggakanku. Bagaimana tidak, aku tumbuh menjadi seorang anak gadis yang cantik, ramah, baik dan cerdas. Pendidikan agama dan umum yang ditanamkan kedua orang tuaku sejak kecil, mengantarkanku menjadi anak perempuan muslimah yang berprestasi. Tak hanya berprestasi, tapi juga berakhlak terpuji. Apalagi hijab yang menjadi sahabatku sejak aku menatap dunia ini. Selalu setia menemani hari-hariku. Tak jarang banyak orang tua yang ingin mengambilku menjadi buah hati mereka. Tapi aku secara spontan, selalu menolak mereka dengan santun. Aku tak mau pisah dengan keluarga terbaikku, keluarga yang selalu membuat aku tersenyum bahagia setiap waktu. Ah, tapi itu dulu. Dulu saat masaku berjaya. Saat aku sedang naik daun. Dan sekarang aku terlanjur kecewa dengan kejayaanku, dan aku mulai pensiun dari label baik itu.
Pagi ini, seperti biasa. Dina menungguku di teras depan rumah. Menungguku untuk berangkat bersama ke sekolah.
”Me, hurry up! Hari senin sekarang say.” Teriaknya kepadaku.
”Iya, bentar sayang.” Jawabku sambil bergaya di depan cermin.
Aku memang sengaja berdandan lama. Agar nanti aku berpapasan dengan dia. Dia kekasihku sekarang. Namanya Ardy. Kami sudah berjanjian untuk bertemu pagi ini, sekitar pukul 07.00. Kami berbeda sekolah. Aku di Mts Diponegoro dan dia di Smk 1 SukaMakmur. Tapi sekolah kami dekat, hanya berjarak 500 meter. Sehingga mudah bagi kami untuk bertemu atau sekedar saling berpapasan. Sudah menjadi tradisi ku dengannya, untuk selalu melepas rindu ketika pagi menyapa. Meskipun pada akhirnya kami sama-sama sering menjadi korban omelan pak satpam, karena keterlambatan. Yach pasangan yang benar-benar serasi. Dan jangan kau tanyakan dia cinta ke berapaku? Dia cinta ke-15 ku selama 2 tahun terakhir ini. Dan soal cinta pertama? Ah aku sudah lupa siapa cinta pertamaku. Yang aku tau, aku sudah tak pantas lagi untuk mencintainya, atau sekedar memikirkannya.
Mozaik 2
Dalam gelapnya malam. Kulihat surat dari mas Ahmad siang tadi di sekolah. Yah dialah cinta pertamaku. Cinta pertamaku yang selalu sesak di dada. Sesak saat melihatnya, mendengar suaranya, atau sangat sesak meskipun hanya memikirkannya. Entah ada angin apa, dia tiba-tiba mengirimiku surat. Sejak kuterima surat itu, aku sering diam dan melamun. Entah apa yang aku fikirkan. Aku benar-benar ingin menangis. Kami sama-sama saling suka. Tetapi hanya karena insiden malam itu, aku menghindarinya. Benar-benar pergi menjauh darinya. Serasa aku bukan wanita yang tepat untuk lelaki sebaik mas Ahmad.