Lihat ke Halaman Asli

Opini: Soto dari Peru

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah cukup lama para petinggi negara dipusingkan cara mengkudeta kemiskinan. Mungkin kita perlu pembanding dari para pemikir Peru, yang selain Mario Vargas Llosa yang 2010 lalu menyabet Nobel Sastra—pengarang sosialis yang perlahan-lahan menjadi liberal itu—ada seorang pemikir ekonomi bernama Hernando de Soto. Dalam bukunya tentang misteri pasar, ia menawarkan solusi yang menyegarkan walau oleh sebagian aktivis dianggap menyesatkan.

Transisi dari sosialisme ke demokrasi di Peru membuat de Soto berpikir keras bagaimana merobohkan tangga kemiskinan yang kian menjulang. Lalu ia merumuskan sebah tesis sederhana: untuk mengatasi kemiskinan, yang penting diperhatikan adalah apa aset warga, bagaimana aksesnya. Kalau aset warga dianggap ilegal, harus dilegalkan dengan cara memberikan sertifikat tanah yang mereka miliki. Hasil penelitiannya di banyak negara eks-sosialis menunjukkan bahwa ketika aset rakyat sudah legal dan rakyat telah memiliki sertifikat yang bisa diagunkan di bank, maka rakyat telah memiliki modal.

Selama ini bagaimana mau mengatasi kemiskinan sedangkan si miskin tak punya modal. Mau bisnis kecil-kecilan tetap saja butuh modal. Mau ini itu sulit karena tak punya uang. Usulan de Soto bukan lagi perkara antara umpan dan kail, Memang untuk mengatasi kemiskinan tak bisa dengan memberi umpan, tapi belum tentu juga bisa menjamin dengan memberikan kailnya sekaligus. Di negara-negara maju, kata de Soto, 70 persen pengusaha meraih modal pertamanya dengan memanfaatkan rumah dan tanahnya sebagai agunan untuk meminjam ke bank. Langkah ini juga diyakininya bisa membuat para “lintah darat” yang menawarkan kredit dengan bunga tinggi bisa dihindari rakyat miskin.

Kemiskinan di dunia terjadi dan semakin lama semakin sulit diatasi, menurutnya, bukan karena ekses globalisasi dan kapitalisme, namun karena banyak pemerintah menutup akses rakyat miskin untuk menerapkan kapitalisme. Hernando de Soto mengusulkan untuk mengatasi kemiskinan maka perlu membuat aturan hukum agar rakyat miskin bisa mengakses modal.

Tapi yang tak disadari oleh Hernandao de Soto adalah: sebagian besar orang miskin dan ekstralegal itu pendidikannya rendah dan jika mereka menjadikan tanah dan rumahnya sebagai agunan untuk modal, apa jaminannya bahwa mereka tidak akan lebih sengsara karena tanah dan rumah mereka disita bank? Bahkan orang berpendidikan yang baik pun, sudah memiliki pengalaman bisnis yang baik pula, seringkali berurusan dengan bank akibat tak bisa mencicil. Atau kalau sudah punya sertifikat, bisa jadi tanah dan rumah mereka di jual karena harganya lumayan, tapi kemudian memilih rumah kontrakan.

Kalau memang itu maumu, ya terserah kau sajalah de Soto. Tapi saya khawatir dengan rakyat miskin yang hendak keluar dari jeratan kemiskinan itu justru terperangkap lebih jauh ke dalam tangan tersembunyi yang berkedok aset dan akses yang menggiurkan. Mengubah aset jadi kapital bukan perkara cetek. Ini gagasan yang sudah dilontarkan Adam Smith, dan terbukti layu di tengah perjalanan.
*Esais

Sumber: http://www.teraslampung.com/2015/02/soto-dari-peru.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline