Lihat ke Halaman Asli

Viviaslin

silent reader

Bisakah Indonesia Menerapkan "Development State Model" ala Jepang?

Diperbarui: 12 Maret 2022   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Di dalam buku berjudul "The Myth of Asian Miracles" yang ditulis oleh Paul Krugman pada tahun 1994 dikatakan bahwa di Asia akan terjadi suatu keajaiban yaitu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang masif. Salah satu faktor pendorong bahwa industrialisasi di Asia akan tumbuh yaitu karena ada negara yang bisa dijadikan pemimpin yaitu Jepang yang dijadikan role-model dan memberi efek ke negara-negara lainnya. Jepang merupakan negara yang berhasil melakukan proses pembangunan ekonomi dengan cepat setelah kehancurannya pada Perang Dunia II.

Kebangkitan Jepang ini merupakan bentuk dari besarnya dukungan pemerintah dalam ekonomi dan industrialisasi, atau lebih dikenal dengan sebutan Development State. Keberhasilan Development State Jepang digambarkan dalam suatu formasi angsa terbang (flying geese), dimana Jepang berada pada posisi terdepan yang memimpin perekonomian Asia.

Gagasan mengenai negara harus memainkan peran sentral dalam pembangunan ekonomi mulai menjadi perbincangan beberapa tahun terakhir. Negara dianggap memiliki peran esensial dalam pembangunan khususnya di negara-negara berkembang.

Dalam hal ini, negara secara langsung terlibat dalam pembangunan ekonomi dan memiliki pengaruh yang besar dalam kebijakan ekonomi publik.  Hal inilah yang kemudian menjadi motivasi atau dorongan bagi negara-negara di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara mencoba untuk meniru apa yang telah dilakukan oleh Jepang, begitupula dengan Indonesia. Namun melihat kondisi birokrasi dan keadaan ekonomi di Indonesia ini menimbulkan pertanyaan "bisakah Indonesia meniru model pembangunan development state seperti Jepang?"

Dalam Johnson's formulation (Pei-Shan Lee, 2002) dinyatakan bahwa unsur yang termasuk dalam development state yaitu: 1. memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara. 2. merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif dan disiplin dengan basis merit. 3. mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam lembaga sentral (seperti MITI di Jepang) yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industrial. Dari beberapa poin ini dapat dijelaskan bahwa ada hal-hal atau syarat-syatat yang diperlu dilakukan Indonesia jika ingin mengikuti model pembangunan ala Jepang antara lain:

Pertama, Indonesia harus memperbaiki layanan birokrasi. Menurut Beeson (2002) bahwa kunci untuk menjalankan development state yang efektif adalah kapasitas negara (state capacity), yaitu kemampuan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Sayangnya, Indonesia masih memiliki birokrasi yang tidak berkualitas dan belum mampu untuk memformulasi dan mengimplementasi kebijakan pembangunan. Dimana sejak awal birokrasi dibangun lebih didasarkan kepada untuk mendukung kepentingan politik daripada pelayanan publik.

Kedua, menurut teori keunggulan kompetitif atau competitive advantage, sebuah negara akan memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan negara lain ketika punya kemampuan yang didapatkan melalui karakteristik dan sumber daya alam yang lebih unggul. Menurut teori ini, Jepang punya keunggulan otomotif dan teknologi informasi sehingga bisa mengembangkan di bidang tersebut. Sedangkan hal yang masih menjadi PR bagi Indonesia adalah Indonesia harus fokus mencari produk yang bisa digenjot untuk merambah pasar internasional.

Indonesia dapat meniru apa yang dilakukan oleh Jepang dan Korea Selatan dalam memajukan industri untuk kepentingan ekspor dimana industri yang bersifat strategis dan berpeluang untuk ekspansi didorong dan difasilitasi sehingga mampu bersaing di pasar global. Dengan cara ini Indonesia bisa menumbuhkan ekonominya.

Ketiga, dalam model development state ini peran negara adalah yang paling utama sehingga Indonesia akan memiliki tanggung jawab yang besar atas keberhasilan dan kegagalan rencana ekonomi dan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu untuk memainkan peran sebagai embedded outonomy. Embedded outonomy yaitu otonomi dan otoritas khusus yang diberikan kepada pemerintah dalam kebijakan pembangunan negara dengan melibatkan sistem birokrasi secara efektif ke dalam sektor swasta dan harus bersifat otonom dari kepentingan partikular birokrasi tersebut, sehingga dapat mencapai transformasi industri dan keberhasilan ekonomi jangka panjang.  

Keempat adalah menggarap pasar domestik. Indonesia masih harus banyak belajar menggembleng dan menyiapkan diri menghadapi era bisnis dan ekonomi masa depan. Salah satu cara untuk menggarap pasar domestik yaitu dengan meningkatkan industri dalam negeri yang masih lemah. Daya saing industri dalam negeri sangat timpang dibandingkan pesaing di negara lain. Berdasarkan data Global Competitiveness Report terbaru dari World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia pada level global masih rendah. Tahun 2019, daya saing Indonesia masih berada di peringkat 50 dari 140 negara. Posisi Indonesia ini masih tertinggal dibandingkan tetangga kita Malaysia.

Terakhir, dalam tulisan Globalization, Debt and Development: Lesson and Policy Alternatives Facing Indonesia yang ditulis oleh J. Mohan Rao (2002) menegaskan bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia harus menolak cara berpikir yang ditanamkan oleh negara-negara donor dan IMF selama ini bahwa tidak ada alternatif lain bagi Indonesia untuk keluar dari krisis ekonomi selain mengimplemenstasikan butir-butir yang ada dalam kesepakatan dengan IMF yaitu dengan berhutang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline