Penulis: Vitta Aprliandani(23005109), Sury Handani (23005103), Deha Mutrisa Elvita (23005140) Dina Marlina(23005141), Retno Dwi Ningrum (23005131) Hana Annisa (23005145), Maroatul Nazifah (23005018)
Tugas PJBL : Pendidikan Keluarga
Prodi: Pendidikan Non Formal
Universitas Negeri Padang
Dosen Pengampu: Dr. Syur'Aini, M.Pd
Menurut WHO (2013), klasifikasi lansia adalah sebagai berikut : a) Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-54 tahun. b) Lansia (elderly), yaitu kelompok usia 55-65 tahun. c) Lansia muda (young old), yaitu kelompok usia 66-74 tahun. d) Lansia tua (old), yaitu kelompok usia 75-90 tahun.
Digitalisasi sedang melanda berbagai wilayah di dunia, dan juga semua golongan. Apalagi saat pandemi Covid-19, dengan adanya pembatasan sosial mendorong setiap orang untuk menggunakannya di berbagai bidang kehidupan. Tidak hanya digunakan untuk komunikasi, pertemuan, tetapi juga untuk keperluan belanja, konsultasi medis, dan juga teknologi finansial atau fintech.
Kondisi seperti ini memerlukan kemampuan untuk mengoperasikannya, selain juga harus memiliki alatnya. Suatu tantangan besar bagi negara kita, apakah ini sudah dapat diakses semua orang? Termasuk oleh warga lanjut usia (lansia). Bagaimana era digital ini dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mewujudkan kelanjutusiaan sehat pada Decade of Healthy Ageing 2021-2030?
Pada 10 tahun ini, berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkannya, dengan sasaran bukan semata kepada lansia, juga generasi calon lansia. Meningkatkan pemahaman generasi muda untuk mempersiapkan diri menjadi lansia masa depan yang lebih sehat, berpendidikan, dan didukung literasi teknologi digital.
Wawasan ke depan bahwa lansia harus lebih maju dibanding lansia saat ini. Konsep the new old age yang sudah lebih dari 20 tahun didengungkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) perlu dipromosikan kembali. Untuk mencapainya perlu terobosan-terobosan dan komitmen dari berbagai pihak terkait, dan menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Era pandemi seperti ini selayaknya dapat dimaknai sebagai momentum untuk peningkatan kualitas hidup lansia melalui penguasaan teknologi digital. Sehingga, lansia masih bisa beraktivitas, berkomunikasi dengan keluarganya, kerabat, dan terhindar dari rasa kesepian (gangguan psikis) lainnya.
Seperti diketahui, pandemi berdampak pada berbagai aspek kehidupan lansia. Dari hasil penelitian penulis tahun 2020, lansia yang kehilangan pendapatan di atas 50 persen sebanyak 40,5 persen. Selain itu, menurunnya hubungan sosial (52 persen), dan 53,4 persen merasa khawatir akan situasi yang terjadi.Bahkan, dari data Kementerian Kesehatan, lansia terutama dengan komorbid (penyakit penyerta) merupakan kelompok yang paling berisiko kematian terkait Covid-19. Suatu tantangan untuk mengatasinya sehingga lansia terhindar dari semua itu, minimal melalui penggunaan teknologi digital.
Sayangnya lansia Indonesia kondisinya mengkhawatirkan karena masih banyak yang tergolong sosial ekonomi rendah. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, tingkat pendidikan lansia masih didominasi rata-rata sekolah hanya sampai kelas lima SD (67,51 persen). Umumnya mereka berada pada kelompok ekonomi 40 persen terbawah (59,24 persen).Akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi telepon genggam (46,68 persen), internet (11,44 persen), dan hanya sedikit sekali yang menggunakan komputer (1,47 persen). Artinya literasi digital lansia masih cukup rendah. Kelompok ini perlu mendapat perhatian dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memanfaatkannya. Apalagi jika mengacu pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan prinsip tak meninggalkan satu orang pun (leave no one behind). Teknologi kesehatan dan lansia, ke depannya menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Saat ini, kesehatan digital telah menjadi komponen penting perawatan kesehatan, dengan munculnya platform kesehatan digital berdasarkan teknologi terbaru. Teknologi informasi dan komunikasi memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memfasilitasi pemberian perawatan berkualitas secara efektif dan efisien.
Dunia berada pada populasi menua dengan total proposi 7% dari total penduduk dan diperkirakan akan mencapai 2 milyar pada 2050. Pada tahun tersebut diperkirakan 33 negara akan memiliki lansia lebih dari 10 juta orang, dimana 22 negara merupakan negara berkembang. Demikian pula di Indonesia, proporsi penduduk lansia pada 2020 sebesar 10% dan diperkirakan pada 2045 akan mencapai seperlima dari penduduk dunia.
Salah satu tantangan lansia adalah jaminan dan fasilitas kesehatan yang memadai. Lingkungan yang mendukung penting diciptakan agar penduduk lansia dapat beraktivitas dengan baik. Para lansia (hampir 85%) lebih memilih untuk mendapatkan perawatan di rumah daripada di fasilitas kesehatan. Hal tersebut dikaitkan dengan depresi, isolasi sosial, dan ketergantungan lebih besar dalam perawatan diri.
Perubahan paradigma