Ingin kubaringkan segala penatku, menghapus jejak bayanganmu. Aku tau, jejak bayangmu terus membekas di sajakku. Biarlah malam membuai sepi, menepikan langkahku. Angin senantiasa menerka pikiranku. Hingga tak ada lagi lentera malam membakar gairahku.
Di kamar ini, lilin memijar kecil. Malam terasa makin gelap. Memang, kubiarkan gelap, agar tatapanmu tidak menghunjam bait-baitku. Biarkan sajakku semakin butuh tentang dirimu.
Harus dari sisi mana, kubungkam lisanku, agar menjauh dari namamu. Tetapi benci dan rindu, lekat menyatu. Bagai gitar yang tak pernah meninggalkan senarnya. Karena itu adalah irama yang mencerna kebahagiaan.
Mungkin aku terlalu bodoh, untuk memaknai zaman. Filosofi cinta senantiasa menari-nari membuncah kisah. Seperti roda yang selalu berputar. Zaman tak pernah luka dalam memainkan waktu.
Ini mungkin resonansi. Aku dan dirimu, hanyalah serpihan kecil dari makin usangnya zaman. Memutih tulang, di penghentian masa purbakala. Harusnya kubakar menjadi dewasa, meski kiamat telah menanti kedatangannya. Entah kapan!
Malang, 27 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H