Lihat ke Halaman Asli

Kemenangan Jerman, Kemenangan Sepakbola Modern

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mario Gotze merayakan gol kemenangan Piala Dunia 2014 (sumber : ESPN)

Tahun 2014 akan memasuki akhirnya dan seperti biasa, banyak juara-juara yang terlahir dalam kompetisi sepakbola. Sorotan tentu saja akan mengarah ke tim nasional Jerman yang berhasil merengkuh trofi Piala Dunia (PD) setelah mengalahkan Argentina di final. Ada banyak poin menarik yang bisa diambil dari setiap kompetisi sepakbola di tiap tahunnya, tetapi poin paling menarik dari final PD2014 adalah betapa kontrasnya metode sepakbola Jerman yang lebih modern sedangkan Argentina menganut paham yang lebih kuno. Di sini, perhatian khusus akan diberikan ke perbedaan filosofi, taktik, dan karakter pemain di antara kedua pihak.

Formasi Jerman vs Argentina di final PD2014 (sumber : zonalmarking.net)

Kolektivitas vs individualisme

Sepakbola selalu merupakan olahraga yang mengedepankan kerjasama tim, tetapi beberapa tahun terakhir ini semakin menguatkan paham tersebut terutama dalam  hal menyerang. Sampai dengan pertengahan tahun 2000, masih banyak tim sepakbola yang mengandalkan kemampuan individual untuk mendobrak pertahanan musuh. Contoh paling jelas adalah Maradona yang berhasil membawa Argentina dan Napoli menjadi juara dunia dan Serie-A seorang diri. Ia memang mempunyai pemain hebat di sampingnya seperti Valdano atau Zola tetapi, semua alur serangan pasti dan harus berasal dari Maradona. Di kasus lainnya,  ada Hongaria 1954 yang mempunyai 4 pemain serang terbaik di saat itu (Puskas, Kocsis, Bozsik, dan Hidegkuti) dan Brazil 1970 yang juga mempunyai Pele, Jairzinho, Gerson, dan Rivellino. Walaupun tim-tim legendaris tersebut mempunyai banyak pemain handal, tetapi tidak ada sistem yang jelas untuk mengoordinasi semua pemain tersebut. Operan-operan yang mereka lakukan bukanlah berasal dari sistem yang jelas, tapi dari kemampuan individu dan pengambilan keputusan secara spontan. Filosofi ini masih berlanjut sampai dengan awal tahun 2000 ketika peran trequartista pola utama dari hampir semua tim papan atas (seperti Zidane, Totti, Riquelme, Del Piero, Baggio, Mancini dll). Trequartista menjadi pusat kreativitas dari serangan tim-tim yang mereka bela dan bila pemain tersebut tidak bermain dalam performa terbaiknya maka ketajaman serangan mereka akan menurun drastis.

Hal ini berbeda dengan skema yang kita lihat sekarang. Baik tim ofensif maupun tim defensif mengandalkan sistem dan sinergi di antara pemain-pemain mereka. Musim lalu, Real Madrid mempunyai pola serangan balik mematikan yang berasal dari operan panjang Xabi, kecepatan dan dribel Di Maria dan Bale, Benzema untuk menarik perhatian bek lawan, dan akhirnya diselesaikan oleh Ronaldo. Messi adalah pemain yang memiliki teknik dan dribel yang mematikan, tetapi di Barcelona, ia tidak akan mencoba untuk melewati 3-4 pemain sekaligus seperti yang dilakukan Maradona. Ia hanya mengandalkan dribelnya di situasi yang tepat dan lebih sering mengoper ke rekan-rekannya untuk membangun serangan. Hal ini juga berlaku ke tim-tim lainnya seperti Atletico Madrid, Dortmund, Muenchen dll yang lebih mengandalkan sistem koletif daripada kemampuan perorangan.

Dari sini, terlihat perbedaan yang mencolok antara Jerman dan Argentina. Jerman mengandalkan kerjasama antara semua lini untuk mencetak gol. Kroos adalah sumber kreativitas utama untuk Jerman, tapi tim lawan tidak bisa berharap untuk mematikan serangan Jerman hanya dengan mematikan Kroos. Masih ada Ozil dan Schweinsteiger yang membantu Kroos untuk melepas umpan kunci dan menjaga tempo permainan. Ancaman gol tidak hanya berasal dari striker utamanya (Klose), tapi juga dari lini kedua (Muller, Schurrle, Gotze dkk). Hal ini sangat berbeda dengan Argentina yang terlalu mengandalkan sihir dan spontanitas Messi (dan Di Maria). Sebagian besar gol yang diciptakan Argentina tidak lahir dari rencana matang melainkan dari serangan sporadis. Hal ini sangat berbeda dengan tim-tim papan atas yang sering kita tonton. Bahkan sedefensif apapun tim tersebut, mereka pasti mempunyai rencana utama yang menjadi sumber gol. Di musim lalu, misalnya, Mourinho sering memainkan taktik defensif dalam menghadapi partai besar, namun Chelsea selalu mempunyai rencana yang jelas untuk menyerang balik : 2 pemain di kedua sayap, 1 penyerang sebagai pivot, dan 1 pemain di belakang striker untuk memberikan dukungan yang kemudian menggabungkan sprint, lari diagonal, dan dummy untuk memecah pertahanan lawan. Secara defensif, Argentina mempunyai sistem pertahanan yang baik, lebih kuat daripada Jerman malah. Namun, sistem bertahan sebagai unit adalah konsep lama sedangkan sistem menyerang sebagai unit adalah skema yang lahir kemudian.

All-rounder vs spesialis

Di masa kini, pemain diharuskan untuk menjadi fleksibel dan mampu berperan dalam banyak elemen permainan. Pemain menyerang harus berkontribusi dalam bertahan dan sebaliknya, pemain bertahan juga harus bisa membantu serangan. Penyerang tidak hanya harus bisa mencetak gol, tetapi juga harus bisa berkontribusi dalam membangun permainan dan menekan bek musuh saat timnya tidak memegang bola. Tidak heran pemain bertipe striker murni atau poacher (seperti Inzaghi, Nistelrooy) sudah punah dari dunia sepakbola. Pemain dengan karakter spesifik seperti trequartista yang biasanya malas bertahan dan tidak memilik fisik prima digantikan gelandang serang yang mampu melakukan pressing dan lebih atletis. Hilangnya posisi trequartista membuat posisi jangkar menjadi sia-sia karena tidak ada pemain khusus yang harus dijaga sehingga peran jangkar murni (contoh : Davids, Makelele, Cambiasso, Gattusso) hilang digantikan dengan gelandang tengah yang mempunyai naluri bertahan, tetapi mampu mendistribusikan bola ke depan dengan baik. Bek dan kiper juga tidak luput dari perubahan ini. Mereka tidak hanya menjadi benteng terhadap serangan musuh, tetapi mereka juga harus menjadi batu penjuru dalam membangun serangan.

Jerman memiliki pemain-pemain yang memiliki deskripsi pemain modern. Neuer, Boateng, dan Hummels mempunyai kemampuan untuk mendistribusikan bola ke depan dengan baik. Schweinsteiger adalah passer handal yang juga gigih dalam melindungi pertahanannya. Muller, Gotze, dan Schurlle tidak kagok untuk menekan bek lawan atau bahkan untuk menjaga mereka sampai ke pertahanan mereka sendiri bila musuhnya melakukan overlap. Ozil, Klose, dan Kroos memang tidak serajin pemain lainnya dalam melakukan tugas bertahan, tetapi mereka tetap disiplin dalam menempati zona mereka sehingga musuh tidak bisa melewati poros tengah dengan mudah.

Sebaliknya, Argentina memiliki pemain-pemain yang memiliki spektrum kemampuan yang lebih sempit. Kemampuan distribusi bola dari kiper Romero tidaklah impresif. Begitu pula dengan Rojo, Garay, dan Demichelis. Mereka bukan pengumpan yang buruk, tetapi mereka juga bukan pengumpan sehebat Neuer, Lahm, Hummels, dan Boateng.

Mascherano adalah salah satu pemain langka karena karakternya yang sangat mirip dengan pemain jangkar murni di masa lampau. Naluri bertahannya sangat kuat, namun ia jarang maju untuk membantu serangan. Ia tidak segan untuk bermain keras dan akan menjaga setiap jengkal lapangannya tanpa kenal takut dan lelah. Ia juga memiliki kecenderungan untuk merebut bola dari musuh dan melakukan sliding tackle yang lebih rawan terkena kartu. Walaupun kemampuan operan pendeknya tidak jelek, akurasi operan panjangnya sangat buruk sehingga timnya sering kehilangan bola saat ia melepas umpan panjang.  Hal ini jelas sangat kontras dengan Schweinsteiger dan Khedira yang menyeimbangkan naluri menyerang dan bertahan. Mereka bisa maju dan mundur sesuai situasi di lapangan. Mereka berdua lebih nyaman dalam mengombinasikan operan pendek dan panjang. Mereka juga lebih memilih untuk memotong jalur operan bola yang lebih aman dari ancaman pelanggaran .

Di lini depan, Messi sering terlihat hanya berjalan santai ketika Argentina tidak memegang bola. Hal ini dapat dimengerti karena Messi sedang tidak berada di kondisi prima dan diharuskan meyimpan staminanya untuk menyerang, tetapi teman-temannya di lini depan seperti Aguero, Higuain, dan Palacio juga tidak menekan musuh serajin unit serangan Jerman.

Situasi unik berada di posisi ujung tombak di mana praktik di lapanan berbeda dengan teori di atas kertas. Klose adalah penyerang bertipe poacher dan merupakan tipe penyerang yang sudah langka, tetapi anehnya ia lebih aktif dalam membantu serangan Jerman. Tidak jarang kita melihat Klose sedang mempertahankan bola di sektor sayap dan kemudian mengoper bolanya kembali ke teman satu timnya. Sebaliknya, Aguero adalah pemain dengan teknik yang sangat bagus dan diharapkan dapat membentuk kombinasi mematikan dengan Messi, tetapi faktor cedera sangat membatasi perannya di kejuaraan ini. Higuain adalah tipe striker yang tidak hanya bertugas untuk mencetak gol, tetapi ia juga ahli dalam melakukan dummy run (menarik perhatian musuh sehingga teman-temannya bebas) seperti yang sering ia lakukan selama di Madrid untuk memberi ruang kepada Ronaldo. Di sini, performanya sangat mengecewakan. Ia tidak hanya kesulitan dalam memanfaatkan peluang, tetapi juga jarang terlibat dalam proses membangun serangan.

Garis pertahanan tinggi vs rendah

Pressing adalah salah satu perbedaan terbesar antara sepakbola modern dan sepakbola kuno. Konsep pressing sendiri baru populer di akhir tahun 1960-an ketika pemain sepakbola sudah beralih dari amatir dan semi-profesional ke profesional. Pressing adalah gaya permainan yang sangat menguras energi dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh pemain dengan fisik yang lemah. Bertambahnya waktu latihan, semakin diperhatikannya gizi pemain, dan masuknya teknologi ke ranah olahraga memungkinkan seorang pemain sepakbola di era tersebut untuk melakukan pressing.

Ketika sebuah tim memainkan taktik pressing, pertahanan dimulai dari pemain depan yang harus menekan bek lawan yang memegang bola. Tentu saja penyerang tersebut hanya membuang-buang energi bila bek tersebut dapat dengan mudah mengoper bola ke pemain tengahnya. Maka, gelandang dari si penyerang juga harus menekan gelandang musuhnya. Pemain belakang pun harus ikut maju agar mereka tidak menyisakan ruang kosong yang luas di tengah lapangan dan agar dapat memakai perangkap offside. Karena itulah pressing menjadi bagian integral dari tim yang memakai garis pertahanan tinggi.

Konsep pressing mulai dipopulerkan oleh Rinus Michels bersama Ajax Amsterdam dan mencapai puncaknya di Piala Dunia 1974 sebagai elemen krusial dari filosofi total football. Di akhir 1980 dan awal 1990, pressing kembali menjadi jantung dari Arrigo Sacchi dan AC Milan yang mendominasi Serie-A dan Eropa. Sacchi memperkenalkan pressing yang dilakukan secara zonal dan kolektif. Di masa itu, AC Milan sudah menjadi klub yang terkemuka dan mempunyai pemain-pemain legendaris seperti Baresi, Maldini, Costacurta dll. Akan tetapi, Sacchi dan AC Milan membawa konsep pressing ke level yang lebih tinggi setelah mereka mendapatkan trio legiun Belanda yakni Van Basten, Gullit, dan Rijkaard. Belanda adalah negara tempat pressing berakar dan Van Basten-Rijkaard adalah alumni Ajax yang sudah sangat “tercemar” oleh pressing, total football, dan ide-ide Rinus Michels lainnya. Mereka bertiga sudah sangat fasih dengan pressing sehingga mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk membuktikan diri mereka dan akhirnya merajai sepakbola dunia.

Jerman mempraktikan taktik pressing secara konsisten dan mematikan. Hal ini tidak perlu diherani mengingat 2 klub terbesarnya yakni Muenchen dan Dortmund menerapkan taktik pressing di setiap pertandingan dan bahkan menelurkan konsep pressing baru yaitu counterpressing atau kerap disebut gegenpressing. Terlihat dengan jelas bahwa pemain-pemain Jerman sangat aktif dalam menekan musuh-musuhnya. Taktik ini secara otomatis membuat garis pertahanan mereka menjadi tinggi : di sekitar garis tengah lapangan . Tentu saja hal ini menyisakan ruang yang luas di antara bek dan kiper yang sangat rentan dieksploitasi oleh serangan balik. Di sinilah Neuer mendefinisikan peran baru yaitu sweeper-keeper. Ia harus bisa mengantisipasi bola terobosan yang diluncurkan musuhnya ke zona kosong di antara ia dan beknya. Apabila ia hanya menunggu di kotak penalti, penyerang musuh akan mendapat kesempatan 1 lawan 1 dengannya dan hal ini sangat tidak menguntungkan kiper. Tentu saja lari meninggalkan kotak penalti juga merupakan keputusan berisiko tinggi untuk posisi kiper. Untunglah Jerman mempunyai Neuer yang memiliki fisik atletis dan naluri intercept yang bagus. Sekarang, hanya 2 kiper yang secara konsisten menjadi sweeper-keeper yaitu Neuer dan Lloris mengingat tim mereka gemar memainkan garis pertahanan yang tinggi. Bagaimana perkembangan posisi ini di masa depan  akan menjadi sangat menarik mengingat tidak semua kiper bisa seatletis Neuer dan Lloris.

Di lain pihak, tim Argentina lebih memilih untuk bertahan di lapangan mereka sendiri. Mereka lebih memilih membangun garis pertahanan lapangan mereka sendiri. Dalam situasi ini, sudah jelas Romero sebagai kiper tidak perlu meninggalkan kotak penalti. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa penyerang-penyerang Argentina tidak berkontribusi aktif dalam bertahan. Gelandang Argentina baru menjaga musuhnya dengan ketat ketika mereka mencapai zona berbahaya yaitu sekitar 30-35 m dari gawang mereka.

Epilog

Kata-kata di atas tidak menyiratkan bahwa filosofi sepakbola modern lebih baik daripada paham yang lebih kuno. Jerman sendiri bisa disebut beruntung karena Argentina gagal memanfaatkan peluang-peluang emasnya menjadi gol. Kedua tim dengan bijak mampun memanfaatkan kemampuan pemain-pemainnya secara maksimal. Jerman mempunyai skuad yang lebih dalam dan kualitas yang lebih merata di semua lini. Di lain pihak, Argentina mempunyai Messi yang merupakan salah satu pemain dunia terbaik sepanjang masa, namun distribusi kualitasnya di timnya sangat timpang. Bila Sabella memaksakan Messi untuk bermain terlalu kolektif maka sangat mungkin bagi Argentina untuk tidak maju ke babak final.

Namun, hampir bisa dipastikan bahwa pemain di masa depan akan mempunyai set kemampuan yang lebih luas dan lebih atletis. Tempo dan intensitas permainan sepakbola masa kini  jauh lebih tinggi daripada di masa lalu. Maka, tim sepakbola pun akan mengikuti tren tersebut dengan memberi fokus lebih kepada kemampuan atletik pemain. Pemain tidak bisa lagi memamerkan tekniknya karena dalam sepersekian detik, ia akan langsung ditekan oleh musuhnya di manapun ia berada. Bahkan Brazil yang dulunya adalah gudang pemain berteknik tinggi tidak lagi memproduksi pemain tipe tersebut. Hanya Neymar yang dapat dikategorikan sebagai tipikal pemain Brazil sedangkan Fred, Willian, Oscar lebih mengandalkan fisik dan pemahaman taktik. Sentra pemain berteknik beralih ke Eropa yaitu Spanyol dan Jerman. Akan tetapi, pemain dari kedua negara tersebut memprioritaskan teknik mereka untuk bermain dengan kolektif dan sistematis, bukan bermain secara individualis dan intuitif seperti yang dilakukan Ronaldinho, Ronaldo, atau Maradona. Bila tren ini berjalan secara linear, bukan tidak mungkin pemain seperti mereka akan bernasib sama dengan trequartista dan poacher.

Referensi utama :

Zonalmarking.net

Inverting the Pyramid, ditulis oleh Jonathan Wilson




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline