"Pulang ke kotamu ada setangkup haru dalam rindu...
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna.."
Sepenggal bait lagu Yogyakarta yang dibawakan oleh Kla Project menjadi pembuka yang indah. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dan kota budaya. Yogyakarta yang pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Yogyakarta yang pernah menjadi kota perjuangan.
Kantor pos Danurejan di Jl. Hayam Wuruk No. 3, Yogyakarta, dahulu Jl. Gemblakan no. 47. Inilah kantor sekaligus rumah dinas Kepala PTT Republik Indonesia, Mas Soeharto yang diculik pasukan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada Minggu, 19 Desember 1948. Akibat serangan ini ibukota jatuh ke tangan Belanda.
Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah republik darurat di sana yang disampaikan melalui radio telefonis (bukan radio telegrafis). Sumber: Sejarah Pos dan telekomunikasi di Indonesia Jilid II Masa Perang Kemerdekaan.
Sepenggal kenangan mengenai kota ini sebab saya hanya mampir selama beberapa hari di sini sambil menikmati libur sekolah. Saat itu kami masih tinggal di Soroako, Sulawesi Selatan. Tahun 1980-an kota ini masih terasa sepi. Ke mana-mana kami naik becak langganan yang mangkal di dekat tempat tinggal mbah. Tujuan kami biasanya ke komplek pertokoan di Jl. Solo, berlanjut di toko buku Gramedia di Jl. Sudirman lalu ke toko buku Gunung Agung.
Saat ayah saya berkumpul dengan teman-temannya di Radio EMC, maka Ibu mengajak adik dan saya untuk jalan-jalan ke Malioboro dan pasar Beringharjo. Belok lagi ke toko buku Sari Ilmu dan kami berdua kakak-adik memborong buku. Buku-buku ini akan kami bawa ke Soroako sebagai bekal bacaan di sana. Soroako merupakan komplek tambang nikel di tengah hutan tepi Danau Matano yang dulu terpencil. Cuti liburan membuat kami mengenal hiruk pikuk kota, antara lain Yogyakarta. Ayah Ibu membawa kami ke tujuan wisata candi Borobudur dan Prambanan.
Selain ke pasar Beringharjo, saya diajak ke pasar tradisional tak jauh dari rumah. Pasar Demangan. Ada penjual jamu yang kami sapa dengan mbok jamu, bahkan sampai tahun 2000-an masih setia berjualan di sana. Sapaan santun para penjual di pasar masih selalu saya ingat. Apa yang selalu saya cari di pasar ini? Beli cenil, grontol, dan gatoto.
Saya masih ingat, dulu ada mbah jadah datang ke rumah yang selalu membawa gendongan dengan tampah dan tenggok dengan jualan jadah (ketan kukus). Uangnya disimpan dalam selendang lurik yang dibuat buntelan. Mbah jadah senantiasa berjualan dengan berjalan kaki.
Kelak ketika kami sudah pindah dari Soroako dan bermukim di Malang, beberapa kali saya ke Yogyakarta. Terkesan akan kota ini, kota yang hidup dengan budaya dan seni. Suatu kali saya menghadiri Biennale Yogyakarta tahun 2009. Di tiap sudut kota diisi dengan seni instalasi dan lukisan.
Kini, kotaku seakan menjadi samar-samar. Kota yang penduduknya ramah dan santun telah digores oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Ah,saya rindu kotaku yang dulu, kota yang damai, tenang, santun dan bersahaja.