Lihat ke Halaman Asli

Menggenggam Awan

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini aku merasa ada yang kurang. Aku sadar bahwa langit pagi ini benar-benar biru. Biru sepenuhnya, tak ada awan. Cirus, culumbus, nimbus semuanya tak ada.
“Kemana mereka” batinku berkata.
Aku terus melanjutkan langkahku menuju sekolah, seperti biasa lima belas menit sebelum bel sekolah bunyi aku sudah tiba di sekolah.
“Ada apa ini?” kataku lirih begitu melihat kerumunan siswa di depan kantor guru. Aku ikut berjalan mengikuti arus. Hingga aku tiba tepat di depan kantor guru. Ikut berdesak-desakan.

“Hey, berhentilah mendorongku” ucapku dengan nada tinggi pada seseorang di sebelahku. Aku yang lelah akhirnya bisa keluar dari kerumunan itu dan sampai di depan kelas.

“Tumben kamu berantakan” kata Dian teman sekelasku.

“Gimana ngak berantakan kalo aku harus nerobos kerumunan anak-anak di depan” keluhku.

“Oh, masih belum pada bubar?” tanya Dian.

“Jadi kerumunan itu udah dari tadi?” tanyaku, Dian menggangguk pelan.

“Emang apa sih yang buat mereka berdesak-desakan di sana?” aku bertanya lagi.

“Denger-denger sih ada cowok cakep, dia baru pindah ke sini” kata Dian. Aku tersenyum kecut mendengar penyebab kericuhan di depan.

***


Pelajaran pertama hari ini adalah Fisika, Bu Ana membawa seorang laki-laki tinggi, putih bersamanya.

“Siapa dia? Anak baru yang di maksud Dian?” batinku menerka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline