Lihat ke Halaman Asli

Ekspektasi Berlebihan Terhadap Sesuatu…

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sabtu kemarin, temen saya Rio mengeluh ke saya,

katanya, “Sialan di kelasku ada cewek cantik yang suka pinjam catatan, suka pinjam modul kuliah, kemaren tak titipi modul untuk dicopy, eh.. dia nggak mau. Padahal aku mau kasih dia duit lho, misalnya di belum gajian….,” kata Rio sambil cemberut.

Temenku yang lain, Sapta, menimpali, “Mungkin masih kekanak-kanakan kali, atau belum dewasa..,” Rio kembali menimpali, “Bisa jadi belum dewasa, walaupun mungkin sudah bisa buat anak he he he!”

Beberapa waktu lalu, saya pernah mendapat kata-kata mutiara antara lain:


  1. Bebaskan hatimu dari rasa benci
  2. Jangan khawatir
  3. Hiduplah sederhana
  4. Berilah lebih
  5. Jangan terlalu berharap

Jangan terlalu berharap. Mungkin kata kata itu bisa kita ubah jadi jangan membayangkan yang berlebihan atau jangan berimajinasi yang tidak masuk akal.

Sebagai penulis, saya kadang menganjurkan kepada temen-temen saya untuk membebaskan imajinasi sebebas mungkin. Nanti itu akan tersaring saat rapat produksi ketika naskah itu akan diproduksi menjadi sebuah film misalnya. Atau ketika akan diterbitkan menjadi sebuah novel, pasti imajinasi yang berlebihan itu akan disensor.

Namun untuk kasus Rio, harapan atau ekspektasi yang berlebihan bisa mengecewakan. Mungkin Rio berharap bisa mendekati cewek tersebut. Atau berkencan dengan cewek cantik itu. Seandainya Rio pingin serius, maka Rio seharusnya bersyukur karena bisa mengenal sifat-sifat cewek itu lebih awal yang walaupun cantik tapi egois dan tidak punya kemurahan hati.

Pada bulan Mei 2008 temen saya, yang kuliah di Kansas, Asya, pulang. Sekitar dua minggu dia melihat lagi keadan kota yang sudah dua tahun ditinggalkan. Entah dari mana pengamatannya terhadap kota Yogya tercinta, Asya mengatakan “Ekspektasiku tentang kota Yogya berlebihan, An, kukira kota ini seperti dulu, yang ramah dan sederhana, tapi….”

Asya kemudian menceritakan bahwa di Amerika, orang benar-benar membeli barang kebutuhan sesuai keadaannya. Bahkan berhitung sebelum membeli. Sementara di Yogya, konsumerisme telah melanda hampir semua orang. Mereka berbelanja diluar kebutuhan utamanya.

Temen saya Utari, yang bekerja di salah satu NGO di dekat Galeria Mall, pernah bercerita bahwa para pekerja asing yang pernah bekerjasama dengannya tidak sehebat orang Indonesia. Mereka menggunakan hand phone masih monochrome, ringtonenya masih polyphonic tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang sudah ber-ringtone MP3.

Harapan atau berharap tentu boleh saja. Tapi harapan tanpa logika dan terlalu berimajinasi ibarat berjalan tanpa arah. Kalau kita sedang menulis novel sih boloeh-boleh saja berimajinasi sebebas bebasnya…

So, jangan sampai kita memiliki ekspektasi berlebihan terhadap sesuatu. Agar tidak menyesal jika harapan itu meleset dari angan-angan. Bersyukur dengan apa yang sudah ada lebih baik daripada ber-ekspektasi berlebihan. Dan langkah selanjutnya adalah percaya bisa melangkah satu langkah lagi (Step by Step). Bukan berharap seribu langkah sekaligus.

Selamat melangkah dengan pasti

Trims Buat: Dewi Utari, Widya Narasya, Yoke.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline