Pendidikan merupakan salah satu sarana mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Lebih lanjut beliau Ki Hajar Dewantara (1962:14) menjelaskan bahwa “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya”. Masyarakat Indonesia telah mengenal sistem pendidikan jauh sebelum kedatangan dan dominasi penjajah barat di Nusantara.
Pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang konsisten menembangkan Islam dan menentang kolonialisme. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren menjadi “training centre” dan “culture centre” Islam yang di lembagakan oleh masyarakat Islam sendiri yang secara de facto tidak bisa dinafikan oleh Belanda (Arifin, t.t : 104) Ziemek (1986: 56) menunjukkan melalui penelitian disertasi berjudul Pesantren dalam Perubahan Sosial bahwa jumlah terbesar dari gerakan perlawanan dalam sejarah terhadap kekuasaan kolonial Belanda berasal dari para kiai dengan pesantren-pesantrennya sebagai basis perjuangannya.
Semangat perjuangan merebut kemerdekaan yang bergelora di Tanah air telah memicu pesantren untuk terlibat langsung dalam perjuangan melawan kolonial Belanda secara terbuka. Keterlibatan ini pada akhirnya membentuk kesadaran “protonasionalisme” di kalangan pesantren yang berorientasi pada penciptaan dan penggalangan nasionalisme vis a vis penjajah sehingga mampu mengubah fungsi pesantren yang semula sebagai lembaga pendidikan menjadi a centre of anti Dutch sentiment.
Era 1930-an merupakan puncak penjajahan Belanda. Masa itu adalah masa pemberangusan pergerakan politik praktis. Kalangan nasionalis banyak beralih kepada isu pendidikan. Melalui pendidikan, kalangan nasionalis membangun imajinasi politik baru. Mereka merengkuh dan merangkul kembali pesantren. Padahal sebelumnya, masa-masa awal berdirinya Budi Utomo, pesantren sempat dicurigai dan dijadikan obyek pengawasan. Hal ini menurut Ahmad Baso (2012: 40) dapat dimaklumi mengingat banyak kader-kader Belanda. Gunawan Mangunkusumo misalnya pernah mengusulkan untuk membuat program pengawasan pesantren. Usulan ini di tolak oleh peserta kongres berkat keberatan yang di sampaikan Sutomo. Pada masa ini pula, banyak terjadi perdebatan antara pro kolonial dengan pro pesantren dalam media yang kemudian di kenal menjadi menarik dengan Polemik Kebudayaan. Perdebatan tersebut menjadi menarik bukan dikarenakan dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda atau orang-orang pesantren sendiri. Akan tetapi, perdebatan itu dilakukan oleh kalangan yang selama ini dekat dengan dunia media, dunia pembentuk opini. Orang-orang yang pro maupun kontra pesantren dalam media tersebut bukan orang yang baru muncul dalam media publik, bukan pula asing dengan dunia pesantren.
Pada abad ke-18 pesantren mengalami kemerosotan secara beruntun. Menurut H.J de Graaf (1989: 34) hal itu disebabkan oleh penentangan para penguasa bumiputera sendiri terhadap kiai-kiai di pesantren di satu pihak, dan kekhawatiran penguasa kolonial
Belanda terhadap kiai-kiai pesantren di lain pihak. Kekhawatiran tersebut mendorong mereka membuat pemisahan-pemisahan terhadap kiai-kiai pesantren, bahkan berusaha menindas mereka. Salah satu contoh penentangan penguasa bumiputera terhadap kiai-kiai pesantren dapat disimak dalam tragedi pembantaian massal terhadap 5.000 sampai 6.000 kiai dan keluarganya di alun-alun Plered Mataram yang dilakukan oleh Amangkurat I (1646-1677). Karena alasan politik yang tidak menguntungkan penguasa Amangkurat I, pembantaian masal terhadap kiai-kiai dan keluarganya itu “terpaksa” dilakukannya (Huda, 2007: 219).
Secara Khusus kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda dijadikan instrumen yang ampuh untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Benda (1985:48) menyatakan, “Bilamana bertanding dengan daya tarik pendidikan barat dan persekutuan kultural barat, maka Islam hanyalah menjadi pihak yang kalah”.
Pada 1890. C. Snouck Hurgronje mencatat bahwa jumlah pendidikan pesantren bertambah, akan tetapi dua puluh tahun berikutnya disaksikan pendidikan barat mulai meraih kemenangan dalam perlombaan melawan saingannya yang Islam. Tujuan dari semua ini adalah menjadikan Indonesia yang modern yang terbaratkan (westernized Indonesia), bukan Indonesia modern yang Islam.
Kondisi Pendidikan Islam (Pesantren) di Indonesia mengalami banyak tekanan dari kolonial Belanda. Namun, dengan rasa semangat patriotisme dan jihad di jalan Allah SWT yang dimiliki oleh para santri untuk melawan penjajah dengan berbagai macam cara salah satunya ialah penyelenggaraan Pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki berbagai macam faktor pendukung dan faktor penghambat. Salah satu yang menjadi penghambat pendidikan Islam era kolonial adalah kebijakan yang dibuat oleh kolonial itu sendiri. Bagi pemerintah Belanda, pendidikan bukan hanya bersifat pedagogis-kultural, melainkan juga bersifat pedagogis-politis. Kebijakan yang ditetapkan oleh kolonial pada dasarnya digunakan sebagai instrumen untuk mengurangi dan menghapuskan pengaruh Islam. Namun, betapa keras dan diskriminatif kebijakan saat itu, menjadi serangan balik tersendiri bagi Belanda. Para tokoh-tokoh muslim menggabungkan kedua sistem pendidikan yang ada, sehingga generasi muda muslim terhindar dari westernisasi dan sekularisasi yang diselipkan oleh pihak Belanda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H