Lihat ke Halaman Asli

BapasTanjungpinang

Balai Pemasyarakatan Kelas II Tanjungpinang

Pembimbing Kemasyarakatan dalam Menjalankan Amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Pradilan Pidana Anak (SPPA)

Diperbarui: 19 November 2020   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Pada tahun 2020, Balai Pemasyarakatan kelas II Tanjungpinang yang selanjutnya disebut Bapas Tanjungpinang telah melaksanakan pendampingan terhadap ABH (Anak yang Berhadapan dengan Hukum) sebanyak 113 orang ABH. Dalam implementasinya, menurut UU No 11 tahun 2012 tentang SPPA pada pasal 65, Pembimbing Kemasyarakatan hadir mewakili negara yang bertugas sebagai berikut:

a.  membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan;

b. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA;

c.  menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;

d. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan

e.   melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang  memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat,  cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Pada pasal 1 ayat 2 dan Ayat 3, “Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.

Dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut, semua pihak harus mengedepankan dan mengutamakan keadilan restoratif.  Pada pasal 1 ayat 6 dikatakan bahwa “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.

Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua Anak yang melakukan tindak pidana akan dimasukkan kedalam Penjara atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Ada beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh Anak yang ancaman hukuman pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana akan diupayakan Diversi. Pada pasal 1 ayat 7  dijelaskan bahwa “Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”. Jadi, Anak yang melakukan tindak pidana, kemudian dilaksanakan proses diversi (tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri) dan apabila upaya diversi tersebut berhasil maka Anak tersebut akan dilakukan pembinaan diluar Lembaga Pembinaan namun tetap dibawah pengawasan Pembimbing Kemasyarakatan Bapas dan juga pihak terkait. Dalam pelaksanaannya, untuk mencapai kesepakatan diversi juga banyak syarat yang harus dipenuhi oleh Anak tersebut. Serta pada pasal 9 ayat 1, “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan:

a.  kategori tindak pidana;

b.  umur Anak;

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline