Apakah pelaksanaan apel dapat meningkatkan kedisiplinan mahasiswa atau hanya sebatas mitos yang dipaksakan oleh sistem pendidikan? Di era digital ini, pertanyaan tentang pentingnya disiplin menjadi semakin relevan untuk dijawab. Apakah kedisiplinan itu benar-benar muncul dari kebiasaan-kebiasaan wajib, seperti apel pagi yang dipaksakan, atau ada pendekatan yang lebih efektif untuk membangun tanggung jawab diri mahasiswa?
Banyak institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, menggunakan apel atau pertemuan wajib sebagai cara untuk membentuk kedisiplinan. Namun, pendekatan ini justru sering kali hanya menjadi rutinitas kosong yang tidak memiliki dampak signifikan terhadap perilaku atau produktivitas mahasiswa. Apel yang dilakukan setiap hari lebih sering dipandang sebagai formalitas, dan mahasiswa yang hadir biasanya melakukannya hanya untuk memenuhi kewajiban administratif, bahkan ada yang hadir hanya sekadar "mengakali" sistem apel tersebut bukan karena mereka memahami atau menginternalisasi pentingnya disiplin. Ini menunjukkan bahwa kedisiplinan yang dipaksakan secara eksternal tanpa memberikan pemahaman yang mendalam cenderung tidak efektif untuk jangka panjang.
Di era digital saat ini, tantangan yang dihadapi mahasiswa jauh lebih kompleks daripada sekadar hadir di sebuah apel pagi. Pengelolaan waktu, penentuan prioritas, dan kemampuan untuk fokus di tengah arus informasi adalah keterampilan yang jauh lebih penting daripada sekadar mengikuti peraturan formal. Mahasiswa perlu belajar untuk mengatur diri mereka sendiri di luar pengawasan eksternal. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa disiplin diri yang tumbuh dari dalam, seperti kesadaran akan tanggung jawab akademis dan pribadi, lebih efektif dalam meningkatkan produktivitas dan kesuksesan mahasiswa. Ini membuktikan bahwa apel atau pertemuan wajib tidak sebanding dengan kebiasaan manajemen diri serta internalisasi nilai kedisiplinan lebih dinamis dan relevan.
Daripada menggunakan metode apel yang sifatnya seremonial dan tidak fleksibel, perguruan tinggi bisa mengadopsi pendekatan yang lebih memberdayakan mahasiswa untuk mengembangkan disiplin diri ataupun dengan memberikan efek jera yang sekiranya demanding bagi para mahasiswa. Program-program internalisasi, diskusi kelompok tentang tujuan akademis, dan sistem mentoring yang lebih personal adalah contoh pendekatan yang bisa menumbuhkan disiplin yang lebih alami dan berkelanjutan. Mahasiswa yang memiliki kontrol terhadap agenda mereka sendiri akan lebih bertanggung jawab dan termotivasi, dibandingkan dengan mereka yang sekadar mengikuti instruksi tanpa pemahaman.
Pada akhirnya, disiplin yang dibangun melalui mekanisme paksaan seperti apel terus-menerus mungkin terlihat efektif di permukaan, tetapi kenyataannya hanya mengajarkan kepatuhan tanpa mengembangkan kemandirian atau tanggung jawab sejati. Untuk benar-benar menumbuhkan disiplin dalam diri mahasiswa, institusi harus beralih dari pendekatan formal yang kaku dan mengarahkan fokus mereka pada metode yang lebih adaptif, memberdayakan, dan sesuai dengan tantangan dunia modern. Disiplin sejati adalah hasil dari kesadaran pribadi, bukan dari serangkaian kewajiban yang dipaksakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H