Dipenghujung tanggal 17 Oktober 2016, waktu yang dijadikan sebagai hari pemberantasan kemiskinan se dunia, ditengah hiruk pikuk pilkada 2017 dan tengah menajamnya pilihan desain pemilu serentak atau pemilu paralel 2019, gaungnya semakin melemah disaat menajamnya isu global bahwa kemiskinan bukan lagi dikurangi namun dihapus. saya ketik di search engine google dengan keyword hari kemiskinan internasional atau hari kemiskinan se dunia tak ada kegiatan peringatan pada hari ini. Pada search engine dua media berita online terbesar di Indonesia pun tak saya temukan berita soal ini.
PBB sebagai pihak yang menggaungkan hari pemberantasan kemiskinan sedunia mengusung tema tahun 2016 ini: Moving from humiliation and exclusion to participation: Ending poverty in all its forms. Kira-kira bermakna bergerak dari penghinaan dan pengucilan untuk berpartisipasi: mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya. Tema ini menelisik pada realitas kemiskinan yang kerap meminggirkan kaum miskin atau menghilangkan akses partisipasi kaum miskin. Memang salah satu akar dari pemiskinan dalam pembangunan adalah ditinggalnya kaum miskin untuk berpartisipasi pada berbagai bentuk pembangunan, bahkan sejumlah kaum miskin pun ditinggal hingga tak mendapatkan program yang diperuntukkan untuk mereka.
Terlepas dari minimnya pemberitaan peringatan hari pemberantasan kemiskinan Internasional, terpenting adalah kerja nyata setiap orang Indonesia untuk berbuat langsung ataupun tidak langsung mengakhiri kemiskinan pada berbagai bentuk, minimal pada diri, keluarga dan lingkungannya. Upaya minimalis ini tentunya bentuk merawat konsistensi satunya kata dengan perbuatan. Pada bentuk terkecil, menjaga diri untuk bekerja dengan berintegritas, tidak korupsi dan menerima gratifikasi menjadi setetes embun penyemai Indonesia yang lebih baik. Namun akan lebih baik lagi bila dapat berkontribusi pada skala kecil sekaligus skala sedang dan besar. Muaranya adalah terus mendorong upaya pembangunan secara utuh yang mewujudkan cita-cita suci founding fathers kita, termasuk dalam aktifitas pilkada (demokrasi) yang tengah hingar bingar kini.
Demokrasi berintegritas secara sederhana dapat dipahami sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat yang berjalan secara demokratis secara nyata. Demokrasi tidak dijalankan sebagai tameng atau kedok atau alat legitimasi simbolik yang telah terpraktikkan pada pemerintahan orde baru. Demokrasi berintegritas dengan demikian dapat dilihat dengan indikator pemilu dan pilkada yang berintegritas. Menurut Komisi Global untuk Pemilihan Umum, Demokrasi dan Keamanan yang diketuai oleh Kofi A. Annan (2012) pemilu berintegritas sebagai pemilu yang berdasarkan atas prinsip demokrasi dari hak pilih universal dan kesetaraan politik seperti yang dicerminkan pada standar internasional dan perjanjian, profesional, tidak memihak dan transparan dalam persiapan dantantangan utama pemilu berintegritas pengelolaannya melalui siklus pemilu. Pemilu dan pilkada yang berintegritas hanya dapat terwujud dengan derajat tinggi hanya apabila para pihak yang menjadi aktor utama bekerja dan berkompetisi secara berintegritas. Mulai dari penyelenggara pemilu yang senantiasa terkawal oleh DKPP maupun peserta pemilu dan pemilih. Pada tingkat operasional, pemilu atau pilkada berintegritas ditandai dengan penyelenggaraan pemilu atau pilkada yang dikelola oleh penyelenggara yang kredibel dan independen, mayoritas peserta pemilu atau pilkada yang berkompetisi secara sehat, tidak melakukan manipulasi suara serta money-politic serta mayoritas pemilih yang cerdas. Pemilu atau pilkada berintegritas menghargai setiap suara pemilih, termasuk pemilih miskin yang kerap terabaikan hak-haknya. Namun realitas pemilihan menunjukkan pada kantong-kantong kemiskinan kerap hadir politik uang yang sejatinya menggerus posisi tawar suara kaum miskin dari kemiskinan yang dialaminya kepada besaran rupiah yang diterima semata. Ini salah satu pekerjaan rumah para pegiat demokrasi dan kemiskinan untuk senantiasa melakukan pendidikan pemilih akan nilai dan praktik pemilu dan pilkada yang berintegritas. Terlebih kepada pegiat kemiskinan untuk dapat mendampingi dan mengorganisir kaum miskin guna memiliki posisi tawar yang baik serta efektif bukan saja pada saat pemilu dan pilkada melainkan memainkan peran efektif dalam kehidupan demokrasi di era reformasi.
Laporan Komisi Global untuk Pemilihan Umum, Demokrasi dan Keamanan yang dalamnya ikut terlibat Prof. Amartya Sen menemukan bahwa, ".....pemilu berintegritas dapat juga memberi manfaat nyata pada para penduduknya. Bukti dari seluruh dunia mengindikasikan bahwa pemilu berintegritas penting untuk memberdayakan perempuan, memerangi korupsi, memberikan pelayanan padakaum miskin, meningkatkan pemerintahan dan mengakhiri perang saudara. Untuk lebih jelasnya, pemilu berintegritas tidak dapat membangun ekonominya sendiri, menciptakan pemerintahan yang baik atau membuat suasana damai, tetapi riset baru-baru ini menyarankan bahwa pemilu yang ditingkatkan dapat menjadi langkah katalis menuju perwujudan potensi transformatif demokrasi. Sebagai contoh, studi di lebih 800 pemilu pada 97 negara sejak 1975 menunjukkan, bahwa pemilu dengan integritas yang lebih besar diasosiasikan dengan kekalahan telak pemilu dari pemerintah petahana yang berkinerja buruk pada pertumbuhan ekonomi dan kebebasan sipil, jauh sebelum pemilu. Riset mengkonfirmasikan mengenai yang seharusnya diharapkan setiap orang: pertanggungjawaban pemilu—kemampuan untuk meminta pertanggungjawaban petahana atas kinerja pemerintahan mereka melalui pemilu—tergantung pada kualitas pemilu. Pertanggungjawaban pemilu, pada gilirannya, diasosiasikan dengan mengurangi korupsi pemerintah. Di Brazil, sebagai contoh, para cendekia menemukan bahwa meningkatnya pertanggungjawaban pemilu secara signifikan mengurangi korupsi dari politisi petahana, terutama ketika terdapat akses publik yang lebih luas pada informasi mengenai kesalahan finansial yang dilakukan petahana. Peraturan yang meningkatkan pertanggungjawaban politik dapat mengurangi biaya korupsi Brazil sebanyak trilyunan dolar per tahun. Penemuan ini didukung oleh studi lainnya yang menunjukkan hubungan statistik yang signifikan antara kecurangan pemilu dan kebijakan ekonomi serta pemerintahan yang buruk. Pada gilirannya, pertanggungjawaban pemilu memiliki manfaat langsung untuk meningkatkan perwakilan kelas bawah. Studi lainnya dari Brazil menunjukkan bahwa meningkatkan proses pemilu untuk menaikkan kemampuan pemilih yang miskin dan buta huruf untuk berpartisipasi, menyebabkan rakyat yang lebih miskin dan kurang berpendidikan terpilih menjadi legislator daerah, pengeluaran pemerintah bergeser ke layanan kesehatan publik, dan terutama, meningkatkan penggunaan layanan kesehatan yang mengurangi kelahiran dengan bobot rendah di antara para ibu yang kurang berpendidikan. Pemilu berintegritas dapat memberi lebih dari sekadar pertanggungjawaban. Di Indonesia, peneliti menemukan bahwa desa-desa yang dulunya melaksanakan pemilu langsung untuk memilih proyek infrastruktur mengalami persepsi lebih baik mengenai keadilan, legitimasi dan kepuasan terhadap proyek mereka daripada desa yang tidak memilih untuk proyeknya. Pemilu berintegritas tidak dapat menciptakan pembangunan ekonomi sendiri, namun mereka dapat membantu memberikan manfaat konkrit pembangunan."
Pilkada serantak 2017 tengah berjalan dan akan dilanjutkan dengan pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019, bila ajang tersebut berjalan dengan berintegritas, dapat menjadi pendorong lebih kuat untuk mengakhiri kemiskinan yang masih dengan mudah kita temui disekitar kita. Hari ini diberbagai belahan dunia tengah meningkatkan kesadaran mengakhiri kemiskinan, sementara hari ini proses pilkada belum bernuansa kompetisi politik yang bermuara untuk memperbaiki hajat hidup orang banyak, utamanya kaum miskin di daerah-daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H