Lihat ke Halaman Asli

Generalisasi Agar Sejarah Bergeneralisasi

Diperbarui: 22 November 2021   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Debat kusir terkait seberapa lamakah Belanda menjajah tanah air selalu aktual. Kebanyakan rakyat mengamini bahwa Indonesia dijajah selama kurang lebih 350 tahun. Tak lain dan tak bukan adalah bapak bangsa ini, yakni Ir. Soekarno. Dalam banyak kesempatan ia berujar demikian. Salah satu contohnya tatkala pidato yang berjudul "Sekali Meredeka Tetap Merdeka" pada 17 Agustus 1946 di Yogyakarta. Kemudian, ditambah lagi dengan ucapan Gubernur Jenderal Hindia-belanda Bonifacius Cornelis de Jonge yang berujar bahwa Belanda sudah di sini (Nusantara) sejak 300 tahun yang lalu, dan akan terus di sini hingga 300 tahun lagi.

Dari dua hal tersebut bisa kita dilihat bahwasanya tujuan keduanya mengutarakan hal yang hampir sama, sebenarnya memiliki motif yang berbeda. Soekarno menggelorakan hak tersebut untuk memantik semangat nasionalisme bangsa ini yang belum lama lahir kala itu. Berbeda dengan yang diutarakan oleh de Jonge. Ia mengutarakan hal tersebut sebagai glorifikasi hegemoni Belanda atas Nusantara. Terlihat sekali perbedaan motifnya yang mencolok.

Namun, benarkah Belanda menjajah Nusantara selama tiga abad, bahkan lebih? Mari kita berpikir sedikit lebih dalam. Kata "Indonesia" yang mengacu sebagai sebuah negara, pada zaman tersebut belum terbentuk. Kita tahu bahwa Indonesia resmi menjadi negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemudian, sebelum menjadi negara kesatuan layaknya sekarang, Nusantara dahulu terdiri atas banyak sekali kerajaan-kerajaan, baik kerajaan besar maupun minor. Bila dikatakan menjajah berarti menguasai seluruh Nusantara, maka Belanda berkuasa tidak sampai 50 tahun. Kerajaan terakhir yang takluk di Nusantara adalah Kerajaan Bali pada tahun 1908. Sebelumnya, Kerajaan Aceh menyerah pada tahun 1904. Jadi, ujaran yang menyatakan Indonesia dijajah selama 350 tahun bisa dikatakan tidak ilmiah dan tidak tepat.

Kesalahan tersebut bisa jadi timbul dikarenakan kebanyakan orang belajar sejarah tanpa atau salah dalam melakukan generalisasi sejarah. Apa itu generalisasi sejarah? Generalisasi sejarah berasal dari kata general yang berarti umum. Maksudnya adalah kegiatan penyimpulan dari yang khusus kepada yang umum. Generalisasi sejarah itu penting, namun sesederhana apapun suatu generalisasi harus tetap dibatasi agar tetap empiris. Generalisasi sejarah yang sebenarnya adalah hasil penelitian.

Saintifikasi adalah model pembelajaran yang menggunakan kaidah-kaidah keilmuan yang memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi, menanya, eksperimen, mengolah informasi atau data, kemudian mengkomunikasikan

Kemudian simplifikasi bis akita sebut penyederhanaan

Nah, generalisasi sendiri ada beberapa macam:

  • Generalisasi konseptual: berupa konsep yang menggambarkan fakta. Terus kasih contoh. Contoh nih konsep "revolusi", "separatisme," dan "kudeta" lekat dengan penggambaran darah, senjata, pembunuhan, kekuasaan, dan semacamnya.
  • Generalisasi personal: pars pro toto (menyamakan bagian dengan keseluruhan). Inget pars=part, berarti sebagian. Kalo toto=total, atau semua. Kasih contoh.Yugoslavia yang begitu lekat dengan seorang Josip Broz Tito pada masa puncaknya, atau era Perang Dingin.
  • Generalisasi tematik: Biasanya judul buku sama dengan tema buku. Sejarah Amerika pada abad pertama ditandai dengan budaya Puritan. Masa kanak-kanak dimulai dengan santai, kemudian menjelang dewasa diterapkan disiplin yang keras oleh orang tua. Untuk keperluan itu John Demos menulis sejarah keluarga dan data kuantitatif dan literer, A Little Commonwealth: Family Live in Plymouth Colony. Yang menjadi dasar dan agama sipil di Amerika adalah rasa malu dan rasa bersalah orang-orang Puritan.
  • Generalisasi spasial: penarikan kesimpulan terkait suatu tempat. Contoh Jogja dan Surakarta sebagai episentrum peradaban Jawa yang kental dengan unggah ungguh khas keraton. Berbanding terbalik dengan karakter wilayah Arekan (Malang, Surabaya, Pasuruan, dan sekitarnya) yang keras, blak-blakan, dan egaliter.
  • Generalisasi periodik: generalisasi yang ditarik dari pembuatan periodisasi (pembabakan waktu). Contoh ketika zaman Jepang yang menurut orang sebagai era penjajahan paling sadis dan tidak manusiawi. Banyak yang menjadi romusha dan wanita penghibur (jugun ianfu). Dampak dari Jepang menghadapi PD II, mental medan pertempuran dibawa kemanapun oleh para tentara Jepang dan ketika berhadapan dengan siapapun.
  • Generalisasi sosial: generalisasi terhadap suatu kelompok sosial. Di satu tempat dengan tempat yang lain, suatu kelompok sosial punya peranan dan kedudukan yang berbeda-beda. Sehingga harus dispesifikasi agar berimbang setiap tempat memiliki budaya social yang berbeda
  • Generalisasi kausal: Generalisasi sebab musabab kesinambungan,perkembangan,pengulangan,dan perubahan sejarah.faktornya yaitu moral,ekonomi,dan pangkat  Determinisme, ada 2 jenis, idealisme dan materialisme. Penggeraknya masing2 Hegelianisme untuk ide, Marxisme untuk materi. Apriori dan aposteriori.
  • Generalisasi kultural: kultur kan budaya, penarikan berdasarkan budaya pada suatu sejarah karena setiap periode memiliki budaya yang berbeda.
  • Generalisasi sistemik: kesimpulan umum terkait sistem dalam sejarah. Contoh: diaspora Madura di Malang selalu bermukim berkelompok dan menyebar di selatan, timur, dan konurbasi Malang.
  • Generalisasi struktural: Membuat kesimpulan struktur fisik maupun non-fisik seseorang/lembaga agar mudah mengenali/membedakan. Dalam setiap disiplin ilmu pasti mempunyai kesimpulan umum ( generalisasi)..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline