Lihat ke Halaman Asli

Membangun Indonesia melalui Program Studi Strategis

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

L. Hendrajaya, E. J. Mustopa, dan S. Viridi | 20130419

Sumber daya alam (SDA) adalah persediaan materi yang ada di lingkungan sekitar, yang secara umum berharga dan secara ekonomi bermanfaat dalam produksi dan konsumsi, baik dalam bentuk mentahnya atau setelah diolah secara minimal [1]. Berlimpahnya sumber daya alam tidak selalu berkorelasi positif dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM), terutama apabila interaksi antara manusia dan SDA tersebut berlangsung secara detrimental atau hanya menguntungkan sesaat, akan tetapi kemudian merugikan [2].

Salah upaya ekstraksi SDA dilakukan melalui sektor pertambangan. Sektor ini sarat dengan konflik. Dari sisi legalnya, sumber konflik utama dari sektor pertambangan adalah ketidakpastian kebijakan dan pengaturan penggunaan lahan, hak kepemilikan usaha, dan otoritas dalam perijinan [3]. Perencanaan yang kurang lengkap dalam bidang usaha ini dapat merusak lingkungan, misalnya yang sering terjadi adalah menurunnya kualitas air yang merupakan hak penduduk di sekitar lokasi pertambangan [4]. Walaupun industri ekstraksi SDA menyatakan komitmennya dalam suatu prinsip yang dikenal dengan corporate social responsibility (CSR), akan tetapi umumnya terdapat kontradiksi antara retorika dan realitas, dikarenakan perusahan tidak mengintegrasikan CSR secara penuh dalam model bisnisnya [5].

Dengan demikian, koordinasi antara instansi, baik swasta maupun pemerintah, diperlukan agar pengelolaan ekstraksi SDA dapat memberikan solusi yang dipahami dan diterima oleh berbagai pihak terkait [6]. Jangan sampai terjadi konflik, misanya saja antara lembaga lingkungan hidup dan pertambangan, yang dapat mengguncangkan para penanam modal seperti pada munculnya moratorium pembukaan lahan hutan (deforestation moratorium) [7]. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan holistik untuk pengembangan sustainabilitas ekstraksi SDA, yang harus memperhatikan sistem biofisika, organisasi, dan kultural di mana kehidupan manusia telah tertanam di dalamnya dan bergantung padanya [8].

Para ilmuwan, yang di dalamnya termasuk civitas akademika perguruan tinggi bidang penelitian dan pengajaran, memiliki peran dalam pengambilan keputusan yang lebih berpihak kepada keterjaganya SDA secara keseluruhan, dibandingkan kepentingan politiknya [9]. Sebagai contoh, salah satu transformasi ekonomi yang mengagumkan adalah Swedia dan Finlandia, yang saat ini termasuk negara termaju ekonominya, padahal saat pertengahan abad 19 masih termasuk negara-negara termiskin di Eropa, akan tetapi karena saat itu negara-negara Nordic ini melakukan ekspansi industrinya berdasarkan bahan mentah domestik, seperti kayu dan biji besi [10]. Kebijakan yang diambil oleh negara-negara Nordic tersebut adalah buah dari telah terdapatnya hubungan timbal-balik yang menyatu antara ilmu rekayasa (pertambangan dan industri, dalam hal ini) dengan ilmu-ilmu pokoknya (matematika, fisika, kimia, biologi, dan sosial-budaya) sehingga dampak-dampak negatif perkembangan dan implementasi teknologi dapat segera diatasi [11].

Indonesia dengan masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi indonesia (MP3EI) 2011-2025, tidak lain mengidamkan transformasi ekonomi yang sama dengan berdasarkan kekuatan domestiknya [12]. Industri ekstraksi SDA di Indonesia umumnya tidak didampingi oleh institusi pendidikan dengan prodi strategis pada lokasi yang berdekatan, sehingga SDM industri tersebut umumnya berasal dari tempat lain dan tingkatan ahli kadang berasal dari luar negeri. Dengan demikian SDM lokal hanya akan diperlukan pada tingkatan pekerja kasar, maksimal operator. Ini merupakan contoh interaksi SDM lokal dengan SDA-nya yang berlangsung secara detrimental. Untuk itu perlu dikembangkan prodi-prodi strategis di daerah-daerah seluruh Indonesia yang memiliki potensi kekuatan SDA. Tingkatan pendidikan yang diperlukan saat ini adalah D3 dan S1, di mana pengajarnya harus lulusan S2 dan S3. Permasalah lain yang muncul di sini adalah sulitnya mencari lulusan S1 prodi strategis yang berminat untuk melanjutkan ke S2 dan S3 dikarenakan tingginya permintaan lapangan kerja. Transformasi pengajar prodi strategis dari lulusan matematika dan ilmu pengetahuan alam (MIPA) dapat dilakukan mengingat ilmu rekayasa yang dimaksud memiliki ilmu pokok MIPA. Dengan ini beberapa permasalah dapat diselesaikan secara bersamaan, yaitu tersedianya pengajar prodi strategis lulusan S2 dan S3, peningkatan kompetensi SDM lokal, terserapnya lulusan S1 MIPA, dan akan dapat terciptanya hubungan timbal balik antara ilmu rekayasa dan ilmu-ilmu pokoknya. Secara tak langsung hal ini akan sesuai dengan tujuan dari MP3EI saat ini.

Definisi dari prodi strategis bergantung pada kekhasan suatu daerah di mana terdapat SDA potensial. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa prodi strategis tidak hanya bergantung pada jenis SDA akan tetapi juga penyiapan sarana dan prasarana untuk melakukan ekstraksi SDA tersebut. Sebagai contoh, bila suatu daerah memiliki SDA keindahan alam, maka prodi strategis tidak hanya prodi parawisata, tataboga, dan seni, tetapi juga sipil dan telekomunikasi – yang akan diperlukan saat suatu daerah dibangun industri parawisatanya. Jangan sampai saat proses penyiapan sarana dan prasarana tetapi digunakan SDM dari luar daerah.

Referensi


  1. Bacchetta et al., ”World trade report 2010: Trade in natural resources”, World Trade Organization Pub., Geneva, 2010, p. 46.
  2. J. Pineda and F. Rodríguez, ”Curse or blessing? Natural resources and human development”, Human Development Research Paper 2010/04, UNDP, June 2010, pp. 25-26.
  3. B. P. Resosudarmo, I. A. P. Resosudarmo, W. Sarosa, and N. L. Subiman, ”Socioeconomic conflicts in Indonesia’s mining industry” in Exploiting natural resources: Growth, instability, and conflict in the middle east and asia, Ed. R. Cronin et al., Stimson, Washington, 2009, p. 45.
  4. D. Kemp, C. J. Bond, D. M. Franks, and C. Cote, ”Mining, water and human rights: Making the connection”, Journal of Cleaner Production 18 (15), 1553-1562 (2010).
  5. K. Slack, ”Mission imposible?: Adopting a CSR-based business model for extractive industries in developing countries”, Resources Policy 37 (2), 179-184 (2012).
  6. M. Leach, R. Mearns, and I. Scoones, ”Environmental entitlements: Dynamics and institutions in comunity-based natural resources management”, World Development 27 (2), 225-247 (1999).
  7. R. Cawley, ”Deforestation moratorium has the potential to frustrate investors”, Indonesian Coal Report 0160, January 2011, p. 1-2.
  8. D. A. Lertzman and H. Vredenburg, ”Indigenous people, resource extraction and sustainability development: An ethical approach”, Journal of Business Ethics 56 (3), 239-254 (2005).
  9. T. J. Mills and R. N. Clack, ”Roles of research scientists in natural resources decision-making”, Forest Ecology and Management 153 (1-3), 189-198 (2001).
  10. M. Blomström and A. Kokko, ”From natural resource to high-tech production: The evolution of industrial competitiveness in Sweden and Findlan” in Natural resources neither curse nor destiny, Ed. D. Lederman et al., Standford University Press, Palo Alto, 2007, p. 213.
  11. L. Hendrajaya, ”Strategi pengembangan kompetensi dan institusi matematika dan ilmu pengetahuan alam di Indonesia”, unpublished, 2006, pp. 14-15.
  12. ”Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia”, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Ed. Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Cetakan Pertama, 2011, p. 22.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline