G. F. Komara dan S. Viridi | 20140512
Bila kata revolusi mengandung arti perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang dan kata mental mengandung arti bersangkutan dengan batin dan watak manusia, maka gabungan keduanya, revolusi mental, menjadi suatu frasa yang menarik untuk diperbincangkan. Frasa ini menjadi judul berita dalam dua harian yang berbeda pada hari yang sama, yang digagas oleh dua penulis yang berbeda [1, 2]. Sebenarnya konsep ini bukan merupakan sesuatu yang baru [3], akan tetapi kembali disampaikan dengan lebih sederhana [4]. Kritik pun berdatangan mulai dari inkonsistensi rekam jejak penggagas artikel pertama konsep ini dalam menjalankan amanah sebelumnya dan saat ini [5], orisinalitas ide dan penulisannya [6], sampai terdapat dugaan bahwa tulisan tersebut merupakan hasil kerja tim [7], yang kemudian diperkuat oleh pernyataan penulisnya [8].
Terlepas dari berbagai pemberitaan yang cukup hangat tersebut, istilah revolusi mental sendiri bukan baru akan tetapi tidak populer di Indonesia. Istilah tersebut telah lama digunakan untuk pembangunan negara dan karakter bangsa di Malaysia [9], yang saat itu didasari atas hal-hal, seperti segi mental yang menghalangi kemampuan berpikir disebabkan penjajahan dan penindasan [10], rakyat tidak bersemangat dan pembesar-pembesarnya zalim [11], terdapat idiom bahwa orang Melayu pemalas [12], sehingga sampai dikatakan bahwa orang-orang Melayu mundur dalam segala bidang [13]. Perubahan mendasar ini juga terjadi di Afrika terkait dengan ratusan tahun perbudakan [14]. Dalam bidang manajemen, revolusi mental melibatkan pihak pekerja dan pihak pengatur (manajer dan perangkat terkait), di mana dukungan keduanya perlu ada sehingga revolusi mental dapat mendukung munculnya manajemen ilmiah [15]. Teridentifikasi bahwa terdapat peran agama dalam perubahan sosial yang memicu suatu revolusi mental [16]. Selain itu, perlu pula upaya keras untuk meyakinkan para pekerja akan arahan baru, yang dalam perumusannya telah dilengkapi sampai detil teknis, seperti misalnya mengenai rencana penghargaan dan daya tarik psikologis untuk setiap jenis pekerjaan [17]. Konsep Tylorisme yang mendasari manajemen ilmiah ini menuntut baik pihak pekerja dan maupun pihak manajemen untuk menciptakan ruang kerja yang lebih rasional dan produktif, yang dapat diperluas menjadi suatu lingkungan sosial yang berkecukupan dan harmonis [18].
Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan merupakan konsep trisakti yang diungkapkan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada HUT RI bertanggal 17 Agustus 1964 [19], di mana konsep ini dapat digunakan untuk melaksanakan revolusi mental [1]. Akan tetapi evolusi (perubahan berangsur-angsur) dapat menjadi alternatif pilihan ketika tidak mampu lagi melakukan perubahan secara cepat (revolusi), di mana permasalahan kehidupan nyata yang terkorelasikan dengan konsep-konsep agama sederhana, justru lebih "terasa", seperti konsep 3M (Mulai dari Yang Kecil, Mulai Dari Sekarang, Mulai Dari Diri Sendiri) yang dipopulerkan oleh Aa Gym, yang mengajarkan untuk terus "berevolusi" menuju kepada kesempurnaan kehidupan sesuai jalan Allah [20].
Bung Karno, Jokowi-Susetyo, sampai Aa Gym telah mengungkap hal-hal filosofis bermakna dalam dan luas, akan tetapi sulit dibayangkan bagaimana menerapkannya. Terutama terdapat pernyataan bahwa "selayaknya setiap revolusi--diperlukan pengorbanan oleh masyarakat" [1]. Hal ini dapat dihindari apabila pihak pekerja (masyarakat) dan manajemen (pemerintah) bersama-sama menciptakan iklim kerja yang kondusif sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya [18]. Jangan membuat masyarakat kembali menjadi kelinci percobaan penerapan konsep baru, sedangkan manajer (penyelenggara negara) terhindar dari pahit-getirnya proses transisi tersebut. Seyogyanya semua merasakan "bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian".
Terdapat pandangan bahwa bekerja sebagai abdi negara atau pegawai negeri sipil (PNS) akan mendapatkan tekanan dan beban kerja yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan bekerja di perusahaan swasta dan terdapatnya uang pensiun [21], di mana hal ini merupakan salah satu penyebab pengangguran terdidik menjadi dilema kependudukan di Indonesia [22]. Keinginan untuk segera mendapatkan kenyamanan saat baru mulai bekerja ditenggarai memicu hal ini, atau dengan kata lain semangat juang yang rendah. Padahal, budaya Indonesia memiliki konsep yang baik, yaitu merantau, yang dapat dilihat sebagai suatu penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun kehidupan yang lebih baik, sebagaimana dilakukan salah satu proklamator negara ini [23]. Kebutuhan hidup yang kompleks dan ingin dicapai secara mandiri dan kerja keras dapat pula merupakan sebab merantau [24], yang dapat pula diterapkan tanpa perpindahan tempat tinggal [25]. Selain merantau, perasaan rendah diri jika gagal hidup mandiri dan hanya mendapatkan gaji (menjadi pekerja) sepanjang hidup, yang akan membatasi orang untuk menjadi kaya dan meningkat kedudukan sosialnya [26], perlu ditanamkan. Dengan demikian demikian bila ingin kaya, orang tidak akan bekerja sebagai PNS, melainkan sebagai wirausaha (pedagang, pengusaha, petani, dan lain-lain). Akan tetapi bila tetap ingin menjadi PNS maka harus mampu untuk meningkatkan budaya kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan, dan iptek agar dapat menumbuhkan kemampuan [27].
Selain itu terdapat penghargaan yang berlebihan terhadap orang dengan kemampuan finansial besar, tanpa mempedulikan bagaimana orang tersebut memperolehnya. Cara pandang ini perlu diubah dan juga bahwa kebahagiaan identik dengan kekayaan berlimpah. Apabila budaya-budaya ini dapat ditanamkan, korupsi dapat berangsur-angsur dihapus, karena orang akan lebih menghargai kemapanan akibat kerja keras dan kejujuran, ketimbang hanya kemapanannya. Dengan demikian tidak ada pekerjaan yang mudah dan nyaman. Seringkali orang hanya melihat kesuksesan orang lain pada saat akhir dan tidak melihat bagaimana orang tersebut merangkak dari bawah dan bahkan saat sudah sukses ia tetap menjalan budaya disiplin dan melakukan suatu amalan yang konsisten. Amalan yang konsisten akan membuahkan kesuksesan, bahkan untuk hal yang tidak baik sekalipun [28].
Untuk menanamkan hal-hal tersebut di atas: (i) pemerintah harus memberi contoh teladan hidup bersahaja akan tetapi gembira tak berkeluh-kesah, sehingga tidak ada kecemburuan sosial dari masyarakat, di mana pada akhirnya mereka akan dengan ikhlas menirunya, (ii) birokasi diperpendek dan dipermudah akan tetapi pajak ditegaskan sehingga "tambahan penghasilan" yang semula diperoleh dari perlambatan birokrasi dapat diimbangi, bahkan dilebihkan karena sistem menjadi lebih efesien, sampai dapat membuahkan sistem insentif tambahan yang legal, (iii) mengurangi tayangan hiburan pada media dan menggantikannya dengan tayangan pengetahuan dan teknologi, sehingga budaya kerja keras dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan yang akan dikejar dan bukan kemapanan ala artis-artis, (iv) ketegasan hukum bagi setiap warga negara (masyarakat dan pemerintah), karena bila tidak bangsa ini dapat kembali kepada masa di mana kekuasaan dan kekayaan menjadi hukum bukan keadilan, (v) mengurangi beban kurikulum pada anak-anak didik dengan menggantikannya dengan interaksi sosial untuk menumbuhkankembali keluhuran budaya Indonesia yang lebih menekankan nilai-nilainya dan bukan pada tampilannya, (vi) mengisi kekosongan tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menengah dan bawah untuk kemudian dengan cepat melaju ke teknologi mutakhir sehingga Indonesia cukup memiliki fondasi yang kuat untuk mandiri secara teknologi, (vii) membatasi penggunaan alat telekomunikasi pada anak-anak usia sekolah dan menggantikannya dengan bacaan-bacaan sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan, (viii) mengharuskan penanaman modal asing bersifat padat karya dan bukan padat modal serta mengetatkan AMDAL dan asuransi keselamatan/kesehatan bagi para pekerjanya, (ix) penelitian seni-budaya, alam, bahan tambang, politik, dan lain-lain di Indonesia harus melibatkan ahli dari Indonesia dan memiliki kekuatan hukum untuk mendapatkan hak cipta hasil telaahnya, dan (x) mulai melaksanakan investasi jangka panjang dalam bentuk produksi kebutuhan pokok dan bukan melulu impor, serta (xi) menumbuhkan kebanggaan menggunakan produk dalam negeri dengan para aparat pemerintah menjadi panutan dalam melakukan implementasi ini, selain itu disosialisasikan pula pandangan bahwa menggunakan barang-barang original lebih membanggakan ketimbang imitasi atau bajakan, termasuk di dalamnya karya tulis dan seni.
Referensi
- J. Widodo, "Revolusi Mental", Harian Kompas, Sabtu, 10 Mei 2014 16:03 WIB.
- B. Susetyo, "Revolusi Mental", Koran Sindo, Sabtu, 10 Mei 2014 13:25 WIB.
- A. Sasongko, "Pengamat: 'Revolusi Mental' Jokowi Biasa-Biasa Saja", Republika Online, Senin, 12 Mei 2014 14:51 WIB.
- W. Kusumah, "Revolusi Mental ala Jokowi", Kompasiana, 10 Mei 2014 08:25.
- afgh/dbs, "Mental 'Busuk' Ala Jokowi, Kok Mau Melakukan Revolusi Mental?", Voice of Al Islam, Rabu, 7 Mei 2014 15:21 WIB.
- I. Ajie, "Heboh Dua 'Revolusi Mental' Jokowi Dalam Sehari", Berita Empat, Sabtu, 10 Mei 2014 21:30.
- D. S. Prabowo, "Jokowi Harusnya Revolusi Mental Sendiri Supaya Jujur", Tribun News, Minggu, 11 Mei 2014 16:33 WIB.
- A. Teresia, "Tulisan Revolusi Mental, Jokowi: Tim yang Menulis", Tempo.Co, Minggu, 11 Mei 2014 08:57 WIB.
- S. A. Rahman, "Revolusi Mental", Penerbitan Utusan Melayu, 1971.
- Ibid, p. 12.
- Ibid, p. 61.
- Ibid, p. 124.
- Ibid, p. 89.
- Iqbuku-Otu, "Mental Revolution in Africa", African Network International Communications Ltd, 1995.
- J. A. Merkle, "Management and Ideology: The Legacy of the International Scientific Management Movement", University of California Press, 1980, p. 14.
- L. Guiso, P. Sapienza, L. Zingales, "People's opium? Religion and economic attitudes", Journal of Monetary Economics 50 (1), 225-282 (2003).
- L. Graham, "Lillian Gilbreth and the Mental Revolution at Macy's, 1925-1928", Journal of Management History (Archive) 6 (7), 285-305 (2000).
- G. Alchon, "M. Van Kleeck and Scientific Management", in Mental Revolution: Scientific Management since Taylor, Historical Perspectives on Business Enterprise Series, Ed. D. Neson, Ohio State University Press, 1992, pp. 102-129.
- ahmadnoormuhammad2013, "Membedah Konsen Trisakti Bung Karno", Nuswantoro, 15 Januari 2014.
- Naf, "Konsep Evolusi AA Gym, 3 M", Beranda Maya Naf, Rabu, 9 Desember 2009.
- Andryan, "Mindset Pengangguran Terdidik", Harian Medan Bisnis, Selasa, 24 Desember 2013 07:48 WIB.
- L. Nata, "Pengangguran Terdidik Dilema Kependudukan di Indonesia", Warta Andalas, Kamis, 13 Februari 2014 14:04 WIB.
- G. Fauzi, "Budaya Merantau Orang Minang, Kalaulah di Bulan Ada Kehidupan..", Harian Padang Ekspres, Jumat, 10 Oktober 2008.
- S. Laoddang, "Falsafah Rantau Orang Bugis", Kumpulan Coretan Surydin Laoddang, Sekedar Menulis Kelebatan Sejarah, Senin,11 Juni 2012.
- E. Djunaedi, "Pola Merantau Masyarakat Dusun Cisayong Desa Cisayong Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat : Studi Antropologi tentang Faktor-Faktor Pendorong dan Penarik Merantau Masyarakat Dusun Cisayong", Tesis M.Si, Universitas Indonesia, 1997.
- S. Tanudjaja, "Etos Kerja dan Filsafat Cina", dalam Seminar Transformasi Teologi dan Reaktualisasi Etos Kerja Islam sebagai Respon terhadap Pergeseran Peta Geoekonomi, Geopolitik, dan Geobudaya Global ke Cina, Majelis Tarjih Dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 6 Agustus 2011.
- W. Y. Prayitno, "Budaya Kerja Kemampuan, dan Komitmen Pengawai Negeri Sipil di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Propinsi Jatim", Tesis Magister, Universitas Airlangga, 2004.
- Z. Akbar, "Islam dan Ilmu Tirakat (Karena Allah tidak Mengumpulkan Dua Hal Bertentangan pada Satu Tempat)", Facebook, Senin, 12 Mei 2014 08:45.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H